PIEC Bersama Yayasan Persada Hati dan Maha Indonesia Adakan KEP ke-33

Dr. Husain melihat dari pendekatan berbasis epistemologi sosial, ekologi pengetahuan, dan kajian budaya (cultural studies) untuk memahami dinamika ini secara lebih menyeluruh.  

Jumat, 29 November 2024 | 04:42 WIB - Didaktika
Penulis: Wisanggeni . Editor: Wis

KUASAKATACOM, Jakarta- Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC), bekerjasama dengan Yayasan Persada Hati dan Maha Indonesia, menyelenggarakan Kajian Etika dan Peradaban (KEP) ke-33 dengan tema “Pengetahuan dan Kuasa (Knowledge and Power): Tinjauan Budaya dan Politik”. 

Acara tersebut berlangsung di Ambhara Hotel, Jakarta pada Kamis (28/11/2024).

BERITA TERKAIT:
Isi Diskusi di Universitas Paramadina, Rosan Roeslani Tekankan Pentingnya Investasi Jadi Pendorong Pertumbuhan Ekonomi
Paramadina Menorehkan Prestasi Internasional: Raih Juara 4 di IDeA 2025 di Malaysia
Universitas Paramadina dan LP3ES Gelar Diskusi Terkait 100 Hari Pemerintahan Prabowo
Paramadina Adakan Diskusi Peran Sentral Tiongkok dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Malaysia
Peran Teknologi dalam Membentuk Realitas Politik

Dosen Paramadina Graduate School of Islamic Studies, Universitas Paramadina, Dr. Husain Heriyanto memaparkan bahwa pengetahuan dan kuasa adalah entitas yang saling terkait erat. Namun, ia menyoroti “occidental errors of epistemology” yang dikritisi oleh Gregory Bateson, yakni kerangka epistemologi Barat modern yang didorong oleh keinginan untuk mengontrol, yang dinilai sebagai patologi berbahaya.

"Bateson menekankan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari sistem yang lebih besar, sehingga kontrol penuh terhadap keseluruhan adalah hal yang mustahil,” tutur Dr. Husain.  

Dr. Husain melihat dari pendekatan berbasis epistemologi sosial, ekologi pengetahuan, dan kajian budaya (cultural studies) untuk memahami dinamika ini secara lebih menyeluruh.  

Sedangkan Dr. Herdi Sahrasad, Dosen Paramadina Graduate School of Islamic Studies, Universitas Paramadina menyoroti bagaimana kolonialisme membentuk relasi antara pengetahuan dan kuasa di Indonesia. 

Ia mengungkap bahwa kolonialisme sering disamarkan sebagai “pemberian pengetahuan” oleh penjajah, seperti pengenalan infrastruktur modern. Namun, hal ini juga disertai eksploitasi dan penghapusan sejarah lokal.  

Ia juga menyinggung peran Amangkurat I yang membantai ribuan Ulama untuk memecah belah negara dan agama, serta perlunya generasi muda mengingat sejarah kolonialisme yang terlupakan.

"Indonesia, sebagai negara besar, memiliki potensi menjadi jembatan antara komunitas Sunni dan Syiah, meskipun terdapat resistensi dari berbagai kalangan," pungkasnya. 
 

***

tags: #universitas paramadina #generasi muda #ulama

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI