Review Perayaan Mati Rasa: Potret Kerapuhan Anak Sulung dalam Drama Keluarga yang Emosional
Secara dramatis, konflik yang dihadapi Ian memang terasa seperti bisa diselesaikan dengan komunikasi yang lebih terbuka. Namun, justru di situ letak kekuatan film ini—menyoroti bagaimana manusia seringkali menjadi tawanan dari ekspektasi dan konflik batin
Jumat, 14 Februari 2025 | 14:18 WIB - Ragam
Penulis:
. Editor: Wis
KUASAKATACOM, Demak- perayaan mati rasa menandai film pertama Sinemaku Pictures tahun ini, sekaligus melanjutkan kolaborasi Umay Shahab sebagai sutradara dengan studio tersebut. Berbeda dari karya sebelumnya yang kental dengan elemen nostalgia lewat lirik-lirik lagu populer, film ini hadir lebih serius dengan mengandalkan isu yang akrab bagi banyak penonton: beban yang harus ditanggung oleh anak sulung.
Cerita berpusat pada Ian (Iqbaal Ramadhan), sosok anak pertama yang terus berusaha memenuhi ekspektasi sebagai panutan bagi adiknya, Uta (Umay Shahab). Namun, ketika Uta berhasil memenangkan penghargaan dari program siniarnya, sementara band yang dirintis Ian tak kunjung menuai hasil, rasa terasing dan inferior pun mulai menguasai dirinya. Hubungannya yang renggang dengan sang ayah, Satya (Dwi Sasono), hanya memperparah keadaan.
BERITA TERKAIT:
Review Jagal Teluh, Ritual Untuk Balas Dendam
Sedang Tayang Di Bioskop, Begini Review Pernikahan Arwah
REVIEW "Cleaner": Aksi Intens di Ketinggian, tapi Kurang Menggigit
Review Film "Kampung Keramat": Horor dengan Sentuhan Budaya Lokal
Bridget Jones: Mad About Boy – Perjalanan Baru yang Penuh Cinta dan Tantangan
Saat Ian mulai menemukan titik temu dengan ayahnya, kabar duka justru datang. Di saat bersamaan, ibunya, Dini (Unique Priscilla), jatuh sakit dan harus dirawat. Bertubi-tubi, peristiwa ini mendorong Ian ke jurang emosional yang membuatnya memilih untuk mematikan perasaannya demi bertahan.
Naskah yang ditulis oleh Umay bersama Santy Diliana, Junisya Aurelita, dan Rezy Junio mengambil pendekatan simbolis dalam membagi cerita ke dalam empat babak, yang terinspirasi dari zona laut: Abisal, Batial, Neritik, dan Litoral. Setiap babak mencerminkan kondisi psikologis Ian, di mana semakin dalam zona yang diambil, semakin rendah pula titik emosionalnya. Pada zona paling dangkal, Ian akhirnya menemukan kembali harapan dan tujuan hidupnya.
Durasi film yang lebih panjang dari dua film Umay sebelumnya memberikan ruang lebih bagi pengembangan konflik. Meski diawali dengan premis tentang ekspektasi anak sulung, cerita bergulir ke arah yang lebih kompleks. Konflik utama yang kemudian mendominasi adalah upaya Ian dan Uta untuk menunda memberi tahu ibunya tentang kematian ayah mereka. Keputusan itu menghasilkan ketegangan yang terus memancing rasa ingin tahu penonton: kapan kebohongan ini akan terungkap?
Film ini juga menyentuh isu-isu kontemporer, termasuk etika penggunaan kecerdasan buatan (AI). Naskahnya tegas dalam menyuarakan sikap kritis terhadap eksploitasi tragedi nyata demi kepentingan komersial, tetap relevan dengan duka yang tengah dialami karakter utamanya.
Secara dramatis, konflik yang dihadapi Ian memang terasa seperti bisa diselesaikan dengan komunikasi yang lebih terbuka. Namun, justru di situ letak kekuatan film ini—menyoroti bagaimana manusia seringkali menjadi tawanan dari ekspektasi dan konflik batin yang mereka ciptakan sendiri.
Dari sisi penyutradaraan, perayaan mati rasa bisa disebut sebagai karya terbaik Umay Shahab sejauh ini. Gaya visualnya yang kerap menonjolkan close-up berhasil menangkap dinamika emosi setiap karakter, sementara scoring yang intens memberikan lapisan dramatis tambahan. Beberapa adegan kilas balik yang difilmkan dengan format berbeda menciptakan efek nostalgia yang memperkuat emosi.
Penampilan Iqbaal Ramadhan sebagai Ian menjadi sorotan utama, membawakan sosok yang tertekan secara emosional dengan ketulusan yang menyentuh. Unique Priscilla berhasil memberikan nuansa keibuan yang hangat sekaligus rapuh, sementara Umay Shahab menunjukkan perkembangan signifikan sebagai aktor dengan tantangan akting yang lebih berat dibandingkan film-film sebelumnya.
Meski penuh drama emosional, film ini tetap menjaga keseimbangannya dengan selipan humor yang dieksekusi secara presisi. Beberapa dialog ringan, seperti obrolan tentang "air doa eyang," berhasil mencairkan suasana tanpa terasa dipaksakan. Kehadiran bintang tamu seperti Prilly Latuconsina, Ence Bagus, hingga Lukman Sardi juga menambah daya tarik tanpa mencuri fokus dari cerita utama.
Sebagai sebuah drama keluarga, perayaan mati rasa berhasil menyajikan kisah yang relevan, emosional, dan dekat dengan realitas banyak orang. Ini bukan sekadar cerita tentang anak sulung yang merasa terbebani, tetapi juga tentang bagaimana manusia berproses melalui duka dan ekspektasi yang mereka sendiri ciptakan.
***tags: #review film #iqbal ramadhan #perayaan mati rasa
Email: [email protected]
KOMENTAR
BACA JUGA
TERKINI

Polisi Tangkap Dua Pelajar di Magelang, Edarkan Pil Sapi dan Tembakau Sintetis
17 Maret 2025

Gubernur Jateng Minta Pertamina Selesaikan Aduan Soal BBM Tercampur Air
17 Maret 2025

Rapat Konsinyering RUU TNI di Hotel Fairmont Tuai Sorotan
17 Maret 2025

Angin Puting Beliung Terjang Dua Desa di Indramayu, Ratusan Rumah Rusak
17 Maret 2025

Jateng Siap Sambut Kedatangan Pemudik, Ahmad Luthfi Siapkan Langkah Cepat
17 Maret 2025

Kemensos Salurkan Bantuan untuk Warga Terdampak Banjir di Sumedang
17 Maret 2025

Ledakkan Petasan di JIExpo, Sejumlah Remaja Diamankan Polisi
17 Maret 2025