Pakar Kebijakan Publik UGM Ini Tanggapi Dampak Efisiensi di Sektor Pendidikan Tinggi dan Riset

Agustina menyebutkan bahwa dengan adanya pemotongan anggaran ini, perguruan tinggi harus lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan alternatif.

Senin, 17 Februari 2025 | 06:30 WIB - Didaktika
Penulis: Wisanggeni . Editor: Wis

KUASAKATACOM, Sleman- Sudah lebih dari 100 hari sejak Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mulai bekerja, dan berbagai kebijakan yang diambil telah memunculkan pro dan kontra di masyarakat. 

Salah satu kebijakan yang mencuri perhatian adalah efisiensi anggaran yang dilakukan melalui Instruksi Presiden (Inpres) 1 tahun 2025, yang berdampak besar pada berbagai sektor, termasuk pendidikan tinggi dan riset. Salah satu kebijakan yang disoroti adalah pemangkasan anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) RI sebesar Rp14,3 triliun dari total pagu anggaran sebesar Rp56,6 triliun.

BERITA TERKAIT:
Pakar Kebijakan Publik UGM Ini Tanggapi Dampak Efisiensi di Sektor Pendidikan Tinggi dan Riset
Wamenkeu Anggito Abimanyu Dikukuhkan sebagai Guru Besar UGM
Kasus Penembakan PMI di Malaysia, Guru Besar Fisipol UGM: Tindakan Berlebihan dan Langgar Hukum Internasional
Mahasiswa UGM Raih Juara I Capital Market di Ajang JFIF
UGM akan Selenggarakan Konferensi IASFM Bahas Masalah Migrasi Paksa

Agustina Kustulasari, SPd, MA, dosen Manajemen Kebijakan Publik UGM yang berkompeten dalam kebijakan pendidikan tinggi, mengungkapkan pandangannya mengenai dampak pemotongan anggaran terhadap sektor pendidikan tinggi dan riset. 

Menurutnya, pemangkasan anggaran menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana efisiensi tersebut diterapkan. "efisiensi seharusnya berarti mengurangi hal-hal yang tidak perlu. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, bagian mana yang dianggap boros? Jika pemangkasan dilakukan dalam jumlah besar, apakah praktik yang ada selama ini benar-benar boros?" ujarnya pada Minggu, 16 Februari 2025.

Agustina juga menekankan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh mengurangi efektivitas. Menurutnya, efisiensi baru bisa dianggap bermakna jika tetap sejalan dengan efektivitas. Tujuan utama yang ingin dicapai tetap harus dapat tercapai, tetapi dengan cara yang lebih efisien. 

"Jika efisiensi justru mengurangi dukungan terhadap riset dan inovasi, kebijakan ini perlu ditinjau kembali," tegasnya.

Dalam konteks riset di perguruan tinggi, Agustina menjelaskan bahwa pemotongan anggaran dapat berdampak besar bagi dosen dan mahasiswa. Universitas biasanya merencanakan program berdasarkan anggaran tahun sebelumnya, jadi perubahan mendadak seperti pemotongan anggaran ini bisa mengganggu perencanaan program dan bahkan menghentikan penelitian yang sudah berjalan. Padahal, riset dan inovasi sangat penting untuk meningkatkan daya saing bangsa.

Agustina menyebutkan bahwa dengan adanya pemotongan anggaran ini, perguruan tinggi harus lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan alternatif, seperti bekerja sama dengan industri dan lembaga internasional. Namun, ia juga mengingatkan bahwa hal ini bukanlah hal baru dan sudah lama dilakukan. 

"Pertanyaannya adalah, apa lagi yang bisa kita lakukan? Jika anggaran riset terbatas sejak awal dan kemudian dipangkas lagi, ini akan menjadi tantangan besar bagi peneliti dan institusi akademik. Kami harus terus kreatif, tetapi negara juga harus terus berperan," tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan efisiensi ini. Pemangkasan anggaran harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak boleh menghalangi pencapaian tujuan utama dalam pendidikan dan riset. 

"Pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi ini benar-benar memberikan manfaat yang lebih besar dan bukan hanya pemangkasan untuk kepentingan politik," pungkasnya.

***

tags: #universitas gadjah mada #presiden prabowo subianto #efisiensi #perguruan tinggi

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI