PHK Industri Padat Karya Ancam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Salah satu kasus PHK besar terjadi di Sritex Group, yang menghentikan operasionalnya pada 1 Maret 2025 dan memberhentikan 10.665 pekerja. Selain itu, PT Yamaha Music Product Asia dan PT Yamaha Indonesia juga dikabarkan akan menutup dua pabriknya di Indone

Senin, 03 Maret 2025 | 13:25 WIB - Ekonomi
Penulis: Ardiansyah . Editor: Wis

KUASAKATACOM, JAKARTA- Kabar mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri padat karya menjadi perhatian utama di tengah ancaman terhadap target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sepanjang Minggu (2/3), isu ini menjadi sorotan, mengingat pada akhir Februari 2025, sebanyak 11.000 pekerja kehilangan pekerjaan.

Pengamat pasar modal dan keuangan, Ibrahim Assuaibi, menilai bahwa gelombang PHK ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, yang berdampak pada sektor properti, otomotif, hingga ekonomi nasional secara keseluruhan. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir 2025 hanya akan mencapai 3,3 persen, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 5,2 persen.

BERITA TERKAIT:
Intel PHK 20 Persen Karyawan, Restrukturisasi Besar Dimulai di Bawah CEO Baru
Kemnaker Belum Terima Laporan PHK Usai Penutupan Tupperware Indonesia
Pentingnya Pendataan Peluang Kerja bagi Pekerja di Indonesia
Menurunnya Jumlah Pemudik Lebaran 2025 Akibat Daya Beli yang Melemah
60.000 Buruh Terkena PHK dalam Dua Bulan, KSPI Ungkap Penyebabnya

Dampak PHK juga diperkirakan akan meningkatkan angka kriminalitas di pedesaan, karena banyak pekerja yang kembali ke kampung halaman tanpa pekerjaan. Senada dengan itu, ekonom dari CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai bahwa PHK massal menyebabkan hilangnya pendapatan ribuan keluarga, menghambat konsumsi domestik, dan menambah beban layanan publik seperti BPJS Ketenagakerjaan.

Salah satu kasus PHK besar terjadi di Sritex Group, yang menghentikan operasionalnya pada 1 Maret 2025 dan memberhentikan 10.665 pekerja. Selain itu, PT Yamaha Music Product Asia dan PT Yamaha Indonesia juga dikabarkan akan menutup dua pabriknya di Indonesia, berdampak pada 1.100 pekerja.

Tantangan ekonomi di Era Prabowo

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan berat dalam menjaga stabilitas ekonomi. Menurut Direktur Celios, Bhima Yudhistira, berbagai insentif dan diskon yang digelontorkan pemerintah menunjukkan upaya menahan daya beli masyarakat yang terus melemah.

Stimulus seperti diskon tarif tol, stabilisasi harga pangan, dan insentif bagi sektor properti serta kendaraan listrik diharapkan bisa menjaga konsumsi domestik. Namun, Bhima menilai langkah-langkah ini belum cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

Bhima juga mengkritik kebijakan pemerintah yang lebih fokus menarik investasi baru ketimbang melindungi industri yang sudah ada. Ia menyoroti lemahnya daya saing industri tekstil akibat kebijakan impor barang jadi, yang menyebabkan banyak pengusaha beralih menjadi importir daripada produsen.

Sementara itu, Direktur Indef, Esther Sri Astuti, menyarankan agar insentif pemerintah difokuskan pada program prioritas seperti pendidikan, swasembada pangan, dan hilirisasi industri. Menurutnya, insentif yang diberikan harus mampu meningkatkan produktivitas nasional, bukan sekadar mendorong konsumsi masyarakat.

Dengan kondisi ini, pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mengatasi dampak PHK massal serta memastikan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga di tengah tantangan global dan domestik.

***

tags: #phk #prabowo #industri padat karya #ekonomi

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI