Djoko Setijowarno

Djoko Setijowarno

Permenhub No 18 Tahun 2020 Kontra Produktif, Harus Segera Dicabut dan Revisi

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Namun, peraturan ini sangat kontradiktif,,"

Senin, 13 April 2020 | 17:08 WIB - Ragam
Penulis: Wisanggeni . Editor: Wis

KUASAKATACOM, Semarang - Menghadapi sebaran wabah virus corona yang begitu cepat, hendaknya pemerintah dan masyarakat saling mendukung dan bergerak cepat tanpa melihat kepentingan perseorangan dan mengesampingkan kepentingan bisnis. Hal itu diungkapkan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno. 

Menurut dosen Unika Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata tersebut menambahkan aturan yang diacu jangan saling bertentangan dan menimbulkan kebingungan di masyarakat, termasuk petugas pelaksana di lapangan.

BERITA TERKAIT:
Puan Desak Pemerintah Tekan Tombol Bahaya Covid-19, Berlakukan PSBB dan Pengetatan PPKM Mikro
WHO Minta Indonesia Terapkan PSBB Ketat, dr Wiku: Laksanakan PPKM Mikro
PPKM Diterapkan Kembali, Ini Cara Jitu Tetap Bahagia Walaupun WFH
Kasus Aktif Covid-19 Tertinggi, DKI Jakarta Siap Berlakukan PSBB Ketat
Karena Pembatasan Tidak Masif Seperti PSBB, Maka Pemerintah Gunakan PPKM

"Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Namun, peraturan ini sangat kontradiktif, bertentangan dengan aturan sebelumnya dan aturan dalam Permenhub itu sendiri serta prinsip physical distencing (jaga jarak fisik)," ungkap Djoko.

Sebelumnya Pemerintah dan Pemerintah Daerah sudah menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang kesemunya selaras dan saling mendukung.

"Meskipun awalnya ada permintan untuk membolehkan Ojek Online (daring) mengangkut orang. Ketegasan Kementerian Kesehatan patut dipresiasi untuk tidak mengabulkan permintaan itu," lanjutnya.

Djoko melanjutkan Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 menyatakan, bahwa ojek daring hanya boleh beroperasi mengangkut barang, bukan orang. Sesungguhnya, permintaan supaya pengemudi ojek daring untuk tetap dapat membawa penumpang sangat jelas melanggar esensi dari menjaga jarak fisik (physical distancing). 

Menurutnya adanya hal itu justru menimbulkan kesan ambigu di Permnhub No. 18 Tahun 2020 (pasal 11. D), menyebutkan dalam hal tertentu untuk melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan sebagai berikut (1) aktivitas lain yang diperbolehkan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar, (2) melakukan disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan setelah selesai digunakan, (3)menggunakan masker dan sarung tangan, dan tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan di atas normal atau sakit.

"Bertentangan dengan pasal 11.c pada aturan yang sama, angkutan roda 2 (dua) berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang," katanya. 

Dia pun menanyakan apabila peraturan tersebut diterapkan, siapa petugas yang akan mengawasi di lapangan dan apakah ketentuan tersebut akan ditaati pengemudi dan penumpang sepeda motor, serta tanyanya lagi bagaimana teknis memeriksa suhu tubuh setiap pengemudi dan penumpang.

Tentu adanya hal itu menurutnya pemerintah harus menyediakan tambahan personil dan anggaran untuk melengkapi pengadaan pos pemeriksaan. "Pasti ribet urusan di lapangan. Dan mustahil dapat diawasi dengan benar. Apalagi di daerah, tidak ada petugas khusus yang mau mengawasi serinci itu.Jika dilaksanakan akan terjadi kebingunan petugas di lapangan dengan segala keterbatasan yang ada," bebernya.

"Nampak sekali, pasal ini untuk mengakomodir kepentingan bisnis aplikator transportasi daring. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan aplikator selama ini pelaksanaan PSBB di Jakarta sudah mau taat aturan yang sudah diberlakukan. Masyarakat pasti akan taat aturan selama tidak ada diskriminasi di lapangan. Dan jika diterapkan, akan menimbulkan keirian moda transportasi yang lain, sehingga aturan untuk menerapkan jaga jarak fisik penggunaan sepeda motor tidak akan terjadi. Juga nantinya akan merambat ke jenis angkutan lainnya," sindirnya.

Djoko juga menyatakan, tidak ada jaminan pengemudi ojek daring akan mentaati aturan itu (protokoler kesehatan).Meskipun aplikator sudah menyiapkan sejumlah aturan untuk pengemudi ojek daring selama mengangkut orang. 

"Pasalnya, selama ini aplikator juga belum mampu mengedukasi dan turut mengawasi pengemudinya yang masih kerap melanggar aturan ber-lalulintas di jalanraya. Tingkat pelanggaran pengemudi ojek daring cukup tinggi (seperti melawan arus, menggunakan trotoar, melanggar isyarat nyala lampu lalulintas) dan cukup rawan terjadi kecelakaan lalulintas," katanya lagi.

Dia mengingatkan adanya sanksi hukum bagi yang melanggar peraturan tersebut, yakni bisa dikenakan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan Pengemudi Kendaraan Darat yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang sebelum dilakukan pengawasan Ke karantinaan Kesehatan dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pelanggar pun bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda maksimal sebanyak Rp15 miliar.
 
Selain itu, lanjut pengamat transportasi itu, pelanggar juga bisa dikenai pasal 93, yang berbunyi setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pelanggar bisa dipidana maksimal satu tahun dan di denda maksimal Rp 100 juta.

Dia pun menyarankan sebaiknya untuk segera cabut dan revisi Permenhub. Nomor 18 Tahun 2020. "Abaikan kepentingan bisnis sesaat yang menyesatkan. Utamakan kepentingan masyarakat umum demi segera selesainya urusan penyebaran wabah virus corona (Covid-19) yang cukup melelahkan dan menghabiskan energi bangsa ini. Utamakan semangat kebersamaan untuk mencegah penularan Covid-19," tutupnya.
 

***

tags: #psbb #ojek online #virus corona

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI