UIN Walisongo Semarang

Tim KKN MIT DR XII Kelompok 38, Berkesempatan Belajar Pengelolaan Sampah Memanfaatkan Maggot BSF

Sampah sering menjadi problematika masalah yang banyak terjadi di masyarakat.

Sabtu, 07 Agustus 2021 | 13:39 WIB - Didaktika
Penulis: Wisanggeni . Editor: Wis

KUASAKATACOM, Semarang- Pandemi belum berakhir di Indonesia, bahkan kasus baru Covid-19 terus meningkat. Sehingga pemerintah memperpanjang masa PPKM, hal tersebut membuat aktivitas belajar mengajar untuk awal tahun ajaran baru ini masih dilakukan secara daring. 

Beruntung Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan (PPFF) masih tetap melakukan aktivitas pendidikan seperti biasa namun tetap menerapkan protokol kesehatan ketat. Aktivitas tersebut membuat tim Kelompok Kerja Nyata (KKN) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang dapat melaksanakan KKN secara offline di dalam area pondok. “Ini pesantren fadhlul Fadhlan bisa menjadi jujugan (tujuan) tempat KKN dan layak untuk praktek di lapangan, karena banyak kebun dan tanahnya luas sehingga bisa untuk praktek kerja bakti” tutur pengasuh PPFF, KH.Fadholan Musyaffa’.

BERITA TERKAIT:
Pemkab Klaten Terima 4.136 Mahasiswa KKN, Diharapkan Mampu Tingkatkan Potensi Desa
Program WASESA Unwahas Dorong Literasi Digital Adminduk di Semarang Lewat KKN Tematik
KKN UPGRIS Kelompok 21 Adakan Workshop Digital Marketing untuk UMKM
Ekspo KKN UPGRIS Tampilkan Produk Unggulan
1.101 Mahasiswa KKN UPGRIS Siap Bersinergi dengan Masyarakat

Tim KKN MIT DR XII KEL 38 yang terdiri dari mahasiswa UIN Walisongo mendapatkan izin untuk melakukan KKN di PPFF, sebuah pondok pesantren bilingual berbasis karakter salaf. 

Ikfina ilma sahida mengatakan salah satu anggota Tim KKN MIT DR XII KEL 38, PPFF tersebut baru 3 tahun berdiri, namun perkembangannya sangat pesat. Tim tersebut oleh pihak PPFF mendapat kesempatan belajar budidaya maggot sebagai pengurai sampah organik. “Menurut informasi santri PPFF, dulu sebelum ada budidaya maggot, sampah organik dibuang di kubangan sampah atau blumbang dan itu menimbulkan banyak keluhan santri. Karena bau, kemudian juga banyak lalatnya. Namun saat ini sudah teratasi dengan adanya maggot,” ucap Ikfina. 

Mendapat penugasan belajar budidaya Maggot membuat tim asal UIN Walisongo tersebut sangat antusias, Ikfina mengaku sangat antusias ketika mengunjungi tempat budidaya maggot, serta melihat berbagai macam proses pengolahan sampahnya. Menurtnya cara pengolahan sampah ini cukup tepat dan cepat. 

Ia mengatakan sampah sering menjadi problematika masalah yang banyak terjadi di masyarakat. Seringkali masyarakat tidak memperdulikan macam-macam sampah hingga mengumpulkan menjadi satu dari berbagai macam jenis sampah, kemudian dibakar. "Padahal hal tersebut kurang efektif, masih ada jenis sampah yang seharusnya bisa diolah kembali, seperti sampah botol, kaleng, kardus dan lain lain," katanya.

"Maggot BSF merupakan bentuk larva atau lalat. Namun lalat ini berbeda dengan lalat yang sering kita jumpai karena lalat BSF tidak hinggap disampah dan tidak membawa sumber penyakit," imbuhnya.

Maggot dari lalat BSF merupakan inovasi yang menguntungkan bagi para peternak, petani, dan masyarakat secara luas khususnya pesantren Fadhlul Fadhlan. Karena maggot di PPFF merupakan salah satu pasokan pakan ternak lele dan unggas di area dalam pondok pesantren.

Ikfina menambahkan Maggot juga menjadi solusi dari permasalahan sampah organik yang menggunung, sebab maggot bisa menghabiskan puluhan kilogram sampah organik setiap harinya. "Sehingga sampah organik yang berada di dalam pesantren tidak menumpuk karena adanya maggot yang dapat mengurai sampah tersebut. Budiaya maggot sangat efektif dan bermanfaat karena dapat menyulap sampah menjadi sesuatu yang berkah," terangnya.
 
Menurut Ikfina ada beberapa tahap proses budidaya maggot BSF pertama yakni proses penggilingan sampah organik yang diperoleh dari dapur menggunakan mesin penggiling khusus penghancur sampah organik agar sampah menjadi halus. "Selanjutnya hasil yang sudah halus dipress agar kandungan air hasil gilingan berkurang dan lebih kering. Tujuan dikeringkan agar wadah maggot tidak basah, karena ketika basah bisa menimbulkan bau yang tidak sedap. Setelah itu pemberian makan maggot, maggot akan naik kepermukaan untuk mencari makan karena dia akan sadar bau dari sampah organik tadi," jelasnya.

Pemberian makan maggot, ujar Ikfina bisa dilakukan dua kali sehari. Maggot baru bisa jadi makan lele atau unggas, sambung Ikfina kalau telah berumur 2-3 minggu. "Maggot yang bertelur dan siap panen hanya membutuhkan waktu 2-3 minggu lalu siap untuk diberikan sebagai umpan makanan lele atau unggas lainnya," kata Ikfina.

Setelah melebihi usia tersebut, katanya, maggot akan berubah menjadi hitam yang disebut juga prepupa. Dari Prepupa ini kemudian berubah menjadi pupa. "Pupa adalah bentuk kepompong sebelum menjadi lalat mereka akan dimasukkan keruangan khusus untuk proses evolusi agar menjadi lalat sempurna. Ruangan itu bernama puparium," bebernya lagi.

Dalam proses itu, Puparium harus dalam keadaan gelap tanpa ada cahaya masuk. Kecuali lubang dibelakang puparium untuk keluar masuk keluar lalat. Sehingga mereka akan terbang keluar melalui lubang tersebut. "Lalat ini tidak perlu makan, hanya disemprot dengan air biasa saja. Lalat hanya hidup selama kurang lebih 7 hari untuk melakukan perkawinan dan bertelur. Lalat betina 2-3 hari setelah bertelur akan mati, tetapi jika jantan akan mati setelah mereka kawin. Lalat betina akan bertelur ditempat yang sudah disiapkan seperti kayu dan telur tersebut bisa kita ambil setiap hari. Lalu telur akan menetas dalam beberapa hari dan siklus akan kembali seperti semula," ungkapnya.

Ada dua hal yang dicapai dalam proses tersebut, kata Ikfina yang pertama mampu menghasilkan tambahan penghasilan melalui budidaya maggot sedangkan yang kedua mampu menjadi solusi proses pengelolaan sampah yang selama ini sering dikeluhkan masyarakat. 

***

tags: #kkn #uin walisongo semarang #pengelolaan sampah

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI