Bertahun-tahun Dibully Oleh Rekan Kerjanya, Seorang Pegawai KPI Pusat Cari Keadilan
MS mengaku mengalami pem-bully-an di kantornya selama dua tahun.
Rabu, 01 September 2021 | 20:56 WIB - Ragam
Penulis:
. Editor: Wis
KUASAKATACOM, Jakarta- Sebuah informasi terkait dugaan perundungan serta pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa oknum pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI Pusat), beredar di masyarakat. KUASAKATACOM mendapatkan salinan informasi tersebut pada Rabu (1/9/2021).
Menurut korban berinisial MS para pelaku tersebut tidak hanya satu namun ada beberapa dan semuanya adalah pria, sama dengan korban. Bahkan dalam per rilisnya tersebut korban mengatakan peristiwa tersebut terjadi bertahun-tahun sehingga membuat pelaku depresi. Karena itu korban meminta tolong kepada Presiden Joko Widodo.
BERITA TERKAIT:
Pendaftaran Calon Anggota KPI Pusat Periode 2022 - 2025 Telah Dibuka
Terkait Pembebasan Saipul Jamil, KPI Minta Lembaga Penyiaran Tak Amplifikasi dan Glorifikasi dalam Siaran
Komnas HAM Jumat Besok Bertemu Pegawai KPI Pusat Korban Perundungan Teman Kerjanya
Yusri: Korban Mengaku Tak Pernah ke Polsek Gambir
KPI Pusat Ambil Sikap Terkait Informasi Pelecehan yang Terjadi kepada Pegawainya
"Tolong Pak Jokowi, saya tak kuat dirundung dan dilecehkan di KPI, Saya Trauma alat kelamin dicoret spidol oleh mereka. Yang Terhormat Presiden Joko Widodo, saya seorang Pria, berinisial MS, hanya ingin mencari nafkah di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI Pusat), saya hanya ingin bekerja dengan benar, menunaikan tugas dari pimpinan, lalu menerima gaji sebagai hak saya, dan membeli susu bagi anak semata wayang saya," ungkap MS diawal rilisnya.
MS mengaku mengalami pem-bully-an di kantornya selama dua tahun. "Sepanjang 2012-2014, selama 2 tahun saya dibully dan dipaksa untuk membelikan makan bagi rekan kerja senior. Mereka bersama sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya. Padahal kedudukan kami setara dan bukan tugas saya untuk melayani rekan kerja. Tapi mereka secara bersama sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh," ucapnya.
MS mengatakan dirinya awal bekerja di KPI Pusat pada tahun 2011. "Sudah tak terhitung berapa kali mereka melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa saya lawan. Saya sendiri dan mereka banyak. Perendahan martabat saya dilakukan terus menerus dan berulang ulang sehingga saya tertekan dan hancur pelan pelan," kata MS.
Tahun 2015, lanjutnya para pelaku beramai ramai melakukan pelecehan terhadap MS. "Mereka memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan mencoret coret alat kelamin saya memakai spidol. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat? Sindikat macam apa pelakunya? Bahkan mereka mendokumentasikan kelamin saya dan membuat saya tak berdaya melawan mereka setelah tragedi itu. Semoga foto telanjang saya tidak disebar dan diperjualbelikan di situs online," bebernya.
pelecehan seksual dan perundungan tersebut, lanjut MS, mengubah pola mental, menjadikannya stres dan merasa hina. "Saya trauma berat, tapi mau tak mau harus bertahan demi mencari nafkah. Harus begini bangetkah dunia kerja di KPI? Di Jakarta? Kadang di tengah malam, saya teriak teriak sendiri seperti orang gila. Penelanjangan dan pelecehan itu begitu membekas, diriku tak sama lagi usai kejadian itu, rasanya saya tidak ada harganya lagi sebagai manusia, sebagai pria, sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Mereka berhasil meruntuhkan kepercayaan diri saya sebagai manusia," ujarnya.
"Saya tidak tahu apakah para pria peleceh itu mendapat kepuasan seksual saat beramai ramai menelanjangi dan memegangi kemaluan saya, yang jelas saya kalah dan tak bisa melawan. Saya bertahan di KPI demi gaji untuk istri, ibu, dan anak saya tercinta. Tahun 2016, karena stres berkepanjangan, saya jadi sering jatuh sakit. Keluarga saya sedih karena saya sering tiba tiba gebrak meja tanpa aldan berteriak tanpa sebab. Saat ingat pelecehan tersebut, emosi saya tak stabil, makin lama perut terasa sakit, badan saya mengalami penurunan fungsi tubuh, gangguan kesehatan," katanya.
MS menyampaikan pada 8 Juli 2017, ia ke Rumah Sakit PELNI untuk Endoskopi. "Hasilnya saya mengalami Hipersekresi Cairan Lambung akibat trauma dan stres," lanjutnya.
Peristiwa tidak mengenakkan kembali terjadi pada MS pada tahun 2017. "Pada 2017, saat acara Bimtek di Resort Prima Cipayung, Bogor, pada pukul 01:30 WIB, saat tidur, mereka melempar saya ke kolam renang dan bersama sama menertawai seolah penderitaan saya sebuah hiburan bagi mereka. Bukankah itu penganiayaan? Mengapa mereka begitu berkuasa menindas tanpa ada satupun yang membela saya. Apakah hanya karena saya karyawan rendahan sehingga para pelaku tak diberi sanksi? Dimana keadilan untuk saya?" kata MS.
Karena tidak kuat, MS pada Agustus 2017 melaporkan apa yang ia alami kepada Komnas HAM. "11 Agustus 2017, saya mengadukan pelecehan dan penindasan tersebut ke Komnas HAM melalui email. Pada 19 September 2017, Komnas HAM membalas email dan menyimpulkan apa yang saya alami sebagai kejahatan atau tindak pidana. Maka Komnas HAM menyarankan saya agar membuat laporan Kepolisian," katanya.
Karena penyakitnya tak kunjung sembuh, MS pun atas saran keluarga akhirnya berobat ke Psikiater. "2017, karena berobat ke dokter penyakit dalam tak kunjung sembuh, berdasarkan saran keluarga akhirnya saya ke Psikiater di RS Sumber Waras. Dari Psikiater, saya diberi obat penenang selama 1 minggu," imbuhnya.
Sepanjang 2018 karena tidak kuat dibully dan dimaki, kata MS usai tugas kantor selesai ia sering menyendiri di Mushola hanya untuk menangis dalam kesunyian. "Kadang saya pulang ke rumah di jam kerja hanya untuk menghindari perundungan yang tak sanggup saya tanggung. Mereka terus merundung dengan kata kata kotor dan porno seolah saya bahan hiburan mereka. Tapi karena dimarahi ibu agar bekerja sampai tuntas, saya akhirnya terpaksa kembali ke kantor," lanjut MS.
"Karena saya sering menyendiri ke mushola, para pelaku memfitnah saya meninggalkan pekerjaan, padahal saya trauma oleh kebejatan mereka dan tugas kantor selalu saya selesaikan dengan baik," ucapnya.
Karena tak betah dan sering sakit, MS pada 2019 akhirnya pergi ke Polsek Gambir untuk membuat laporan polisi. "Tapi petugas malah bilang, "Lebih baik adukan dulu saja ke atasan. Biarkan internal kantor yang menyelesaikan". Pak Kapolri, bukankah korban tindak pidana berhak lapor dan Kepolisian wajib memprosesnya?" tanya MS.
Atas saran tersebut, MS akhirnya mengadukan para pelaku ke atasan sambil menangis. "Saya ceritakan semua pelecehan dan penindasan yang saya alami. Pengaduan ini berbuah dengan dipindahkannya saya ke ruangan lain yang dianggap 'ditempati oleh orang orang yang lembut dan tak kasar'," kata MS.
Sejak pengaduan itu, imbuh MS para pelaku mencibirnya sebagai manusia lemah dan si pengadu. Tapi para pelaku sama sekali tak disanksi dan akhirnya masih menindas korban dengan kalimat lebih kotor. Bahkan pernah tas milik korban di lempar keluar ruangan, kursi korban juga dikeluarkan dan ditulisi "Bangku ini tidak ada orangnya". Perundungan itu, ujar MS terjadi selama bertahun tahun dan lingkungan kerjanya. MS mengatakan para pelaku sama sekali tak tersentuh.
"Saya makin stres dan frustasi. Akhirnya berdasarkan saran keluarga, saya konsultasi ke psikolog di Puskesmas Taman Sari. Hasilnya, saya divonis mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Bingung menghadapi lingkungan kerja yang penuh predator dan penindas, akhirnya di kantor saya hanya bisa curhat ke Pak Buhul. Dia sopirnya Komisioner KPI Pusat, Bu Nuning Rodiyah. Saya butuh teman bicara di kantor, sebab pasca pemindahan saya ke ruangan lain, nyatanya tidak mengakhiri perundungan yang dilakukan para pelaku," beber MS.
MS menambahkan karena perundungan terus terjadi membuat dirinya makin lemah, sering sakit, terhina tiap saat, pada 2020 MS kembali ke Polsek Gambir, berharap laporannya diproses dan para pelaku dipanggil untuk diperiksa. "Tapi di kantor polisi, petugas tidak menganggap cerita saya serius dan malah mengatakan, "Begini saja pak, mana nomor orang yang melecehkan bapak, biar saya telepon orangnya"," katanya.
"Saya ingin penyelesaian hukum, makanya saya lapor polisi. Tapi kenapa laporan saya tidak di-BAP? Kenapa pelaku tak diperiksa? Kenapa penderitaan saya diremehkan? Bukankah seorang pria juga mungkin jadi korban perundungan dan pelecehan seksual? Saya tidak ingin mediasi atau penyelesaian kekeluargaan. Saya takut jadi korban balas dendam mereka, terlebih kami berada dalam satu kantor yang membuat posisi saya rentan. Kepada siapa lagi saya mengadu? Martabat saya sebagai lelaki dan suami sudah hancur. Bayangkan, kelamin saya dilecehkan, alat kelamin saya bahkan dicoret dan difoto oleh para rekan kerja, tapi semua itu dianggap hal ringan dan pelaku masih bebas berkeliaran di KPI Pusat. Wahai Polisi, dimana keadilan bisa saya dapat?" tanyanya.
"Apakah harus jadi perempuan dulu supaya polisi serius memproses kasus pelecehan yang saya alami? Apakah tangan saya harus dibacok sampai putus atau perut saya diiiris berdarah dulu baru penganiayaan yang saya alami diperhatikan orang lain? Ketidakpercayaan atau ketidakseriusan orang-orang terhadap apa yang saya alami yang membikin saya makin frustasi dan stres. Seolah saya makhluk paling hina dan tidak ada gunanya di muka bumi," urainya.
MS mengatakan pada Oktober 2020, dirinya pernah mengirim pesan ke Pengacara kondang Hotman Paris dan Mentalist Deddy Corbuzier untuk meminta tolong via DM Instagram. "Tapi sayang, mereka berdua tidak merespon. Mungkin mereka sibuk dan tak punya waktu membantu saya yang hanya karyawan rendahan di KPI Pusat," sambungnya.
"Pak Jokowi, Pak Kapolri, Menkopolhukam, Gubernur Anies Baswesan, tolong saya. Sebagai warga negara Indonesia, bukankah saya berhak mendapat perlindungan hukum? Bukankah pria juga bisa jadi korban bully dan pelecehan? Mengapa semua orang tak menganggap kekerasan yang menimpaku sebagai kejahatan dan malah menjadikanya bahan candaan? Usai lapor atasan, mengapa pelaku tidak disanksi? Seperti inikah lingkungan kerja di KPI Pusat?" tanya MS lagi.
"Dengan rilis pers ini, saya berharap Presiden Jokowi dan rakyat Indonesia mau membaca apa yang saya alami. Saya tidak kuat bekerja di KPI Pusat jika kondisinya begini. Saya berpikir untuk resign, tapi sekarang sedang pandemi Covid-19 dimana mencari uang adalah sesuatu yang sulit. Dan lagi pula, kenapa saya yang harus keluar dari KPI Pusat? Bukankah saya korban? Bukankah harusnya para pelaku yang disanksi atau dipecat sebagai tanggung jawab atas perilakunya? Saya BENAR, kenapa saya tak boleh mengatakan ini ke publik. Dan, kalau keluar dari kantor yang penuh perundungan, saya takut tidak bisa menafkahi keluarga, terutama anak dan istri tercinta," ungkapnya.
Menurut MS perundungan dan pelecehan seksual yang ia alami sungguh membuat tidak kuat bekerja di KPI Pusat. Tapi dirinya tidak ingin menambah jumlah pengangguran di negara ini. "Untungnya berkat diskusi dengan teman saya yang pengacara, aktivis LSM, saya sedikit menjadi berani untuk bicara. Oleh karenanya, saya bertekad membuka kisah saya ke publik," ucap MS.
MS pun dalam suratnya tersebut menyebutkan nama para pelaku bersama dengan daftar perbuatan yang mereka lakukan kepadanya. Berikut inisial pelaku tersebut:
Berikut nama nama pelaku dan daftar perbuatan yang mereka timpakan padaku:
Pelaku pertama berinisial RM alias Ol (Divisi Humas bagian Protokol di KPI Pusat). Menurut MS, pelaku RM selama 2 tahun (2012-2014) memaksa dirinya membelikan makan seolah korban budak mereka, sering memaki bernuansa SARA dan rasis seperti "Dasar Padang pelit!" dan mengatakan "Banci Lu!".
RS, imbuh korban juga yang memimpin penelanjangan dan melecehkan seksual terhadap dirinya. RS juga merundung secara verbal (memaki, mencemooh, menghina, dll). Tidak hanya itu menurut korban pelaku sembarangan menuduh bapak korban sakit karena semasa hidup makan uang korupsi padahal menurut korban, pelaku tak tahu apa apa tentang keluarganya.
Pelaku melakukan perbuatan itu, kata MS di KPI Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakpus, Gedung Bappeten.
Pelaku kedua, kata MS ada dua orang yakni berinisial TS dan SG (Divisi Visual Data). Korban mengatakan kedua pelaku sepanjang tahun 2012-2015, selalu membully. "Keduanya mengatakan, 'Bapakmu sakit keras karena kamu anak durhaka!', 'Kamu kok belum nikah, gak laku ya'," kata MS.
Keduanya melakukan pem-bully-an itu di KPI Pusat Jalan Gajah Mada, Jakpus, Gedung Bappeten.
Pelaku ketiga beriniail RT (Divisi Visual Data), menurut korban pada tahun 2015, pelaku berperan memegangi tangan dan kaki kiri korban, lalu bersama sama menelanjangi korban di kantor KPI Pusat. "Di lain waktu, RT juga pernah menendang bangku saya ketika sedang beristirahat sehingga saya merasa terintimidasi dan ketakutan. Pada 2017, di Resort Prima Cipayung, Bogor, RT berperan melempar saya ke kolam renang pada pukul 01:30 WIB," jelasnya.
Pelaku keempat, berinisial FP (Divisi Visual Data). "Pada tahun 2015, pelaku berperan memegang tangan dan kaki kanan saya, lalu secara bersama sama menelanjangi saya, memukul kepala saya di tangga lantai 5, mengatai saya di grup percakapan kantor dengan ucapan porno dan kalimat kotor," kata MS.
Pelaku, imbuh MS melakukan perbuatan itu di KPI Pusat Jl Gajah Mada, Jakpus, Gedung Bappeten.
Pelaku kelima berinisial EO (Divisi Visual Data), menurut korban pada tahun 2015, setelah korban telanjang dan dalam keadaan dikeroyok tak berdaya, EO berperan mencorat coret alat kelamin korban dengan Spidol. Hal itu dilakukan pelaku di KPI Pusat Jl Gajah Mada, Jakpus, Gedung Bappeten.
Pelaku keenam berinisial CL (ex divisi visdat, sekarang divisi Humas bagian desain grafis). "2015, berperan memfoto kelamin saya yang sudah dicoret dan menyimpan gambar asusila. Saya tidak tahu foto yang masuk kategori pornografi itu sekarang disimpan dimana, yang jelas saya sangat takut jika foto tersebut disebarkan ke publik karena akan menjatuhkan nama baik dan kehormatan saya sebagai manusia," kenang MS.
Pelaku ketujuh, imbuh MS berinisial TK (Divisi Visual Data). "Tahun 2019, pelaku melempar/membuang tas saya sampai keluar ruangan kantor. Menyingkirkan bangku kerja saya sampai keluar ruangan kantor dan menulis “Bangku ini tak ada orangnya!”," ucap MS.
Kejadian itu dilakukan oleh pelaku di Gedung baru KPI Pusat, Jalan Ir H Juanda No 36, Jakpus.
MS pun berharap dengan ia menceritakan kisahnya itu, membuat komisioner KPI Pusat tergerak hati. "Dengan rilis pers ini, saya berharap rekan rekan media dapat memuat kisah ini. Bantu saya mempublikasi ini, barangkali dengan meluasnya cerita saya ini, Komisioner KPI Pusat jadi tergerak hatinya untuk menjatuhkan sanksi pada pelaku dan Polri mau memproses laporan saya," pungkas MS.
***tags: #kpi pusat #pelecehan seksual #presiden joko widodo #bully
Email: [email protected]
KOMENTAR
BACA JUGA
TERKINI

Seorang Waria di Medan Ditangkap Usai Bawa Kabur dan Menjual Motor Tetangga
19 Februari 2025

Kesaksian Anak Bos Rental dalam Sidang Penembakan: “Ayah Saya Tewas di Depan Mata”
19 Februari 2025

Mahasiswa dari Berbagai Universitas Gelar Aksi di Semarang, Soroti Isu Nasional
19 Februari 2025

Kedatangan Sainz Dorong Kemajuan Williams di 2025
19 Februari 2025

HUT ke-38, SMAN 14 Adakan Job Fair
19 Februari 2025

Red Velvet Happiness Diary: My Dear, ReVe1uv In Cinemas – Perayaan 10 Tahun yang Tak Terlupakan
19 Februari 2025

Kementerian Kelautan dan Perikanan Ajak Para Breeder Hasilkan Ikan Koi Kualitas Ekspor
19 Februari 2025

Bridget Jones: Mad About Boy – Perjalanan Baru yang Penuh Cinta dan Tantangan
19 Februari 2025

Polisi Ungkap Kasus SPBU Manipulasi Takaran BBM di Sukabumi
19 Februari 2025

Sebanyak 49.218 Jemaah Haji Reguler Lunasi BIPIH 2025
19 Februari 2025