Ritus dan Cerita Lisan 'Dumadine Sukorejo' di Festival 'Labuhan Kali: Wiwitan', Kampung Jawi Semarang

Gunungan tersebut diarak dari Kelurahan Sukorejo hingga Jembatan Bendo.

Rabu, 24 Juli 2024 | 11:13 WIB - Ragam
Penulis: Holy . Editor: Surya

KUASAKATACOM, Semarang -- Festival 'Labuhan Kali: Wiwitan' menjadi agenda cukup meriah yang digelar di Kampung Jawi, Jl. Kalialang Lama, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, pada Jumat (19/7/2024) dan Sabtu (20/7/2024).

Penampakan tersebut terlihat dari banyaknya pengunjung yang datang, serta partisipan yang ikut serta dalam agenda Arak-arakan Gunungan di puncak acara Festival 'Labuhan Kali: Wiwitan'.

BERITA TERKAIT:
Wali Kota Semarang Agustina Targetkan Perbaikan Kerusakan Jalan Trangkil Gunungpati Selesai Pekan Ini
Satu Bus Trans Semarang di Gunungpati Ludes Terbakar
Ritus dan Cerita Lisan 'Dumadine Sukorejo' di Festival 'Labuhan Kali: Wiwitan', Kampung Jawi Semarang
Tertangkap! Begal Payudara di Semarang Beraksi Usai Nonton Video Porno
Sempat Tertunda karena Pemilu, Festival Durian di Gunungpati Semarang Akhirnya Digelar

Gunungan tersebut diarak dari Kelurahan Sukorejo hingga Jembatan Bendo, pada hari Sabtu (20/7/2024) sekitar pukul 16.30 WIB. Sekaligus menggelar ritual labuhan yang menggabungkan pewarisan kearifan lokal dan kepedulian lingkungan.

Berdasarkan keterangan dari Kepala Program Festival sekaligus perwakilan dari Kolektif Hysteria, Muhammad Hadziiq, ritual labuhan diinisiasi oleh tokoh budaya setempat bernama Siswanto. Kemudian, ditapping dengan agenda Purwarupa dari Platform PekaKota-Kolektif Hysteria.

"Untuk acara sebenarnya kita kolaborasi. Kolektif Hysteria punya agenda Purwarupa dari Platform PekaKota dan selanjutnya mengaktivasi Kampung Jawi, untuk membuat kegiatan kebudayaan," jelas Muhammad Hadziiq, dalam keterangan tertulis, Rabu 24 Juli 2024.

"Lalu kami merancang bersama kegiatan Festival ini bersama dengan warga Kelurahan Sukorejo. Pak Siswanto, sebagai tokoh budaya di sini, kemudian mencetuskan tema dan gagasan tersebut untuk judul Festival," lanjut pemuda yang sering dipanggil Hadziiq tersebut.

Bukan tanpa alasan, Hadziiq menjelaskan jika ada pemaknaan tersendiri baik itu dari penamaan hingga masing-masing segmen yang masuk dalam rangkaian acara Festival 'Labuhan Kali: Wiwitan'.

Jika berdasarkan penamaan, 'labuhan' berarti 'membuang' atau 'menghanyutkan' sesuatu di air dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan 'kali' yang berarti 'sungai', serta 'wiwitan' yang bermakna 'memulai'.

Ketiga diksi tersebut dirangkai dalam judul dan tema Festival, dengan maksud untuk membicarakan perihal wacana lingkungan di sekitar Sungai Kripik, yang dewasa ini sudah mulai tergerus erosi.

Maka diputuskanlah, Festival tersebut digelar dan dibalut dengan acara kirab atau arak-arakan yang dirangkai dengan berbagai konsep simbolik serta ritus lain dari budaya warga Kampung Jawi.

"Jadi yang pertama adalah 'Sepindah Pasrah', kedua adalah 'Suba Manggala', ketiga 'Drum Band', keempat 'Bendera Merah Putih'. Kelima 'Garuda', keenam 'Punakawan', lalu ada seniman kontemporer, ketujuh 'Bibit Jati' berjumlah sembilan," jelas Hadziiq.

Jumlah bibit pohon jati yang nantinya akan ditanam di sekitar pinggir sungai, menandai 'itung-itungan' neptu hari dari penanggalan kalender Jawa. Yakni hari sabtu yang berjumlah 9.

Selanjutnya di baris belakang, Hadziiq menyebut ada rombongan perangkat desa, ayam jago, gunungan, reog dan para partisipan lain yang mengikuti ritual Kirab Labuhan Kali. 

"Untuk penanaman bibit jati, karena di sungai itu memang ada isu lingkungan. Erosi, sampai tanahnya longsor. Penggunaan pohon jati, karena akarnya kuat dan kayunya termasuk keras. Jadi cocok untuk memperkuat tanah pinggir sungai," kata dia.

Keterangan tersebut dibenarkan oleh Izza Nadiya, selaku seksi acara dalam Festival 'Labuhan Kali: Wiwitan', yang sekaligus ikut serta mempersiapkan acara dari riset awal hingga pagelaran Festival bersama warga setempat.

Izza, begitu ia kerap disapa, menambahkan bahwasannya simbolik pelepasan ayam dan penanaman bibit pohon jati, memiliki arti yang cukup mendalam bagi warga Kelurahan Sukorejo. Kaitannya dengan cerita yang dibawa oleh kisah Sunan Kalijaga.

"Sunan Kalijaga disejarahkan mencari pohon jati untuk membangun Masjid Demak, sampai Kalialang," ujar Izza Nadiya.

Sedangkan untuk pelepasan ayam, dihubungkan dengan cerita penemuan ayam cemani oleh Sunan Kalijaga di sekitar Gunung Maniban, Kalialang (sekarang menjadi Kelurahan Sukorejo). Ayam tersebut lantas dilepaskan oleh sang sunan ke Sendang Kayek.

"Di Sendang Kayek tersebut, hiduplah sepasang kakek dan nenek. Yang cewek bernama Nenek Krompyong dan yang lelaki bernama Kiai Surbani," papar Izza.

"Kata warga sekitar, memang sudah masih ada makamnya kedua orang tersebut di daerah Mbelik," lanjutnya.

Tak hanya terkait kisah Sunan Kalijaga, Izza juga menyebutkan cerita lisan lain yang dipercaya warga sekitar tentang asal muasal pengambilan simbol bibit pohon jati. Hal tersebut menjadi dasar kuat, untuk selanjutnya diangkat dalam Festival kali ini.

Meski awalnya konsep disusun untuk melarung kepala kerbau, menjadi pelepasan ayam jago, Izza merasa bahwa kegiatan tersebut tetap kental akan makna dan budaya seusai dengan tujuan awal Festival diselenggarakan.

Labuhan Kali: Wiwitan, menjadi salah satu agenda titik ke-5 Program Purwarupa dari Platform PekaKota, Kolektif Hysteria Semarang. 

Agenda itu termasuk dalam rangkaian menuju ulang tahun ke-20 Kolektif Hysteria, sekaligus Event Strategis dari Program Dana Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaa, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI

***

tags: #gunungpati #kota semarang #festival

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI