Pengamat: Biaya Layanan Jantung Mahal, Harusnya Pajak Rokok Masuk BPJS

"Jumlah kasus juga terus meningkat. Penyakit jantung dan penyakit katastropik lainnya adalah penyakit gaya hidup, bukan penyakit menular,

Selasa, 24 September 2024 | 21:56 WIB - Kesehatan
Penulis: Issatul Haniah . Editor: Kuaka

KUASAKATACOM, Jakarta – BPJS Kesehatan menyatakan bahwa penyakit jantung merupakan penyakit katastropik dengan jumlah kasus dan biaya terbesar dibandingkan penyakit katastropik lainnya. Pada tahun lalu, pelayanan kesehatan untuk penyakit jantung mencapai 20.037.280 kasus dengan total biaya sebesar Rp17,62 triliun.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menanggapi bahwa tingginya jumlah kasus dan biaya penyakit jantung akan menyebabkan Dana Jaminan Sosial (DJS) dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan terus meningkat setiap tahunnya untuk menutupi biaya penyakit ini.

BERITA TERKAIT:
Rumah Sakit Harapan Sehat Jatibarang Brebes Sudah Bisa Layani Pasien BPJS
Pemkab Pati Teken Nota Kesepakatan dengan BPJS Ketenagakerjaan
Pengamat: Biaya Layanan Jantung Mahal, Harusnya Pajak Rokok Masuk BPJS
Tepati janjinya, Bupati Kebumen Serahkan Kartu BPJS untuk 710 Penderes
Jadi Korban Penipuan, Seorang Lansia Alami Kerugian Rp1,2 Miliar

"Pasal 99 dalam Perpres 82 Tahun 2018 mengatur tentang pajak rokok, yang diambil dari cukai rokok. Berdasarkan perpres tersebut, seharusnya 3,75% dari cukai rokok dialokasikan untuk pajak rokok yang disetor pemerintah daerah ke BPJS Kesehatan," kata Timboel.

Namun, pasal 99 ini dihubungkan dengan pencapaian Universal Health Coverage (UHC), sehingga tidak sepenuhnya diimplementasikan.

Menurut Timboel, jika amanat pajak rokok di pasal 99 tersebut diberikan kepada BPJS Kesehatan, ada potensi tambahan dana untuk JKN sekitar Rp8-10 triliun per tahun, yang akan terus meningkat seiring naiknya cukai rokok.

Ia juga menegaskan bahwa salah satu penyebab penyakit jantung adalah rokok. Oleh karena itu, pajak rokok yang diatur dalam pasal 99 seharusnya diserahkan ke BPJS Kesehatan. "Dengan gaya hidup merokok yang terus meningkat, pajak rokok bisa dinaikkan menjadi 5 hingga 6 persen. Ini penting agar dana JKN mampu terus membiayai penyakit jantung, sembari upaya preventif terus diperluas," tambahnya.

Timboel juga menjelaskan bahwa tingginya biaya tersebut disebabkan oleh cakupan layanan jantung yang dijamin oleh JKN, mulai dari penanganan awal hingga operasi, termasuk operasi bypass.

"Jumlah kasus juga terus meningkat. Penyakit jantung dan penyakit katastropik lainnya adalah penyakit gaya hidup, bukan penyakit menular, yang meningkat akibat pola makan yang buruk, kurang olahraga, dan meningkatnya kebiasaan merokok," kata Timboel, Selasa (24/9).

Ia juga menyebutkan bahwa Perpres 59 Tahun 2024 junto Permenkes 3 Tahun 2023 mengatur skrinning penyakit katastropik seperti jantung agar bisa dideteksi sejak dini. Namun, ia menekankan pentingnya upaya pencegahan yang lebih masif.

"Saya pernah mengusulkan agar pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan BPJS Kesehatan bekerja sama untuk membiayai gerakan senam jantung sehat, yang dulu pernah menjadi gerakan nasional. Kita perlu menggencarkan kembali upaya pencegahan," jelasnya.

Selain itu, Timboel juga menyarankan agar anggaran APBN/APBD dan anggaran preventif-promotif BPJS Kesehatan dapat digunakan untuk subsidi bagi masyarakat dan peserta JKN yang ingin bergabung di pusat kebugaran. "Misalnya, subsidi 30%," pungkasnya.

***

tags: #bpjs #pajak #rokok #uhc #jantung

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI