Pedihnya, Wanita yang Kunikahi Ternyata Jodoh Orang Lain (1)
Ketika bercerai, dia masih perawan. Dia tak mau kusentuh karena merasa aku bukan suami pilihannya.
Rabu, 08 Maret 2023 | 09:32 WIB - Curahati
Penulis:
. Editor: Kuaka
TAK PERNAH kukira, pernikahan yang kubayangkan menjadi awal dari percintaan yang panjang, berakhir sangat pendek dan penuh dengan penyesalan. Istriku ternyata adalah jodoh orang, yang harus kukembalikan. Meski dengan hati yang lebam.
Ya, aku menikah memang tanpa pacaran. Usiaku telah 32, dan ibu merasa gundah. Lalu, entah bagaimana ceritanya, suatu malam ayah memanggilku, dan cuma bilang pendek, ‘’Karena sampai kini kamu tidak pernah serius dengan perempuan, biar ayah yang pilihkan. Ini bukan perjodohan, kamu boleh menolak jika nggak suka. Tapi jalani dulu.’’
BERITA TERKAIT:
Sepenggal Angan Pedih
Pedihnya, Wanita yang Kunikahi Ternyata Jodoh Orang Lain (1)
Aku Hanya Pemuas Kebutuhan Biologis Suami
Inilah Fakta Menyakitkan Itu, Istriku Piala Bergilir di Kantornya
Di WhatsApp Aku Temukan Cinta dan Gairah Masa Muda
Aku ya oke ajalah. Malas juga berdebat untuk sesuatu yang terbuka begitu. Toh aku bebas memutuskan. Bukan langsung terikat. Ibu juga memastikan perempuan yang akan dikenalkan adalah anak dari staf ayah. Keluarga baik-baik, santun, dan beragama bagus.
Oke ajalah.
Oh ya, apakah aku tidak punya pacar? Jawabnya jelas tidak. Aku sudah malas serius. Tiga kali kuajak pacar ke rumah, akhirnya aku kecewa. Mungkin mereka nggak siap dengan ibu yang sedari awal bertanya soal-soal agama, terutama kepastian untuk berhijab.
Biasanya, pacarku ini menawar padaku, agar tak berhijab dulu. Aku mengiyakan tentu. Syaratku cuma satu, setelah menikah, kudu ikut apa kata ibu. Aku tak ingin ibu kecewa jika ketika jadi istriku mereka tak menyesuaikan diri dengan keluargaku.
Tapi ya begitu, pelan tapi pasti, dari tiga pacarku, semua mundur. Nasibku memang jelek soal asmara. Maka ketika akan diperkenakan, aku ya oke saja.
Calon yang Mutiara
Dan berkenalanlah kami. Aku ingat betul hari itu, 20 Agustus 2018. Kuingat, karena itu hari yang berkesan.
Mutia, perempuan yang datang ke rumah kami dengan ayah dan ibunya, benar-benar pribadi yang, sekilas saja, santun dan baik. Dia tanpa rikuh langsung mencium tangan ayah dan ibu, dan terlibat dalam percakapan akrab dengan mereka.
Dari dialog ayah-ibu, aku tahu jika ayah Mutia ternyata telah ikut ayah lama sekali. Dari dulunya petugas kebersihan di kantor, sekarang ditugaskan ayah untuk membantu urusan kendaraan kantor, mulai pengadaan, servis, sampai penjualan ulang jika sudah dinilai tidak lagi mendukung produktivitas.
‘’Pak Hery ini orang jujur. Ibadanya nggak pernah tinggal. Kadang ayah malu sama Pak Hery, kalah alim,’’ puji ayah yang disambut tawa semua.
Lalu, seperti disengaja, mereka pergi ke dapur, meninggalkan aku dan Mutia.
Di situlah kami ngobrol. Mutia tamatan SMK, dan ternyata juga membantu ayah untuk urusan pembukuan dan pajak. Astaga, aku jadi tersadar betapa tidak begitu peduli aku dengan usaha ayah. Sehingga karyawan dan lainnya aku pun tidak tahu.
Pertemuan pertama itu berlanjut kedua dan ketiga. Dia perempuan yang sesuai dengan harapan ibu. Berhijab, ketat dengan ibadah, dan lembut. Bukan hal yang sulit untuk jatuh suka.
Jadi, tiga bulan sesudah pertemuan pertama itu, ketika ayah ibu bertanya, aku bilang oke saja. Kuizinkan ayah-ibu untuk ‘’nembung’’ ke Pak Hery.
Jawaban datang cepat. Pak Hery setuju. Aku tentu saja senang. Tapi, aku meminta waktu untuk bicara berdua juga dengan Mutia, perempuan yang diam-diam telah menjadi mutiara di hatiku.
Ketika kuungkapkan padanya tentang ayah-ibu yang ingin dia jadi menantu, dan ayahnya yang tak menolak, dia hanya diam. Aku merasa was-was. Dari tangannya yang kaku dan matanya yang tak berani menatap, aku merasa ada yang kurang klop.
‘’Mutia bebas lho, itu bukan paksaan. Itu keinginan orang tua kita. Kita boleh tidak setuju, kok,’’ kataku.
Aku tentu saja bohong. Aku tidak sebijak itu. Aku ingin Mutia. Aku mau dia jadi istriku. Tapi aku juga mau dia memilihku jadi suaminya, imamnya.
Aku ingat, keringat dingin tiba-tiba terbit di tengkukku. Gugup.
‘’Mutia ikut apa yang dipilihkan ayah saja, Mas. Itu pasti yang terbaik,’’ katanya.
Aku bersorak. Tanpa sadar, kupegang tangannya. ‘’Terimakasih ya, terimakasih,’’ kataku.
Mutia terlihat kaget dengan reaksiku. Mungkin dia tidak menyangka aku segembira itu. Sesenang itu atas jawabannya.
Pernikahan Cidera
Maka, 14 Februari 2019, kami pun menikah. Bukan pernikahan yang megah, memang. Aku yang minta pada ayah, agar sederhana saja. Sebabnya, usahaku kan juga belum sebesar ayah. Jadi, aku ingin pernikahan ini kubiayai sendiri. Aku ingin ini memang pernikahanku, fajar baru kegembiraanku.
Adikku, 2 perempuan, yang bekerja di perusahaan ayah, awalnya marah. Mereka bilang kalau relasi ayah banyak, dan aku harus memikirkan itu. Tapi aku bersikeras, sepanjang dapat menjamu relasi, cukuplah. Jangan berlebihan. Aku ingin ini pesta tapi juga tak berlebihan.
Mutia juga ingin begitu. Dia mendukung, tepatnya, mengiyakan apapun yang kukatakan.
Maka, pesta itu berlangsung lancar. Tamu banyak dan bahagia karena makanan cukup beragam, dan gedung besar juga adem. Sesi foto juga tertata dengan bagus. Ayah ibu senang, mertuaku juga sumringah.
Tapi, ada satu momen yang membuatku bertanya-tanya. Di antara undangan Mutia, ada sekelompok yang terlihat tidak ‘’aneh’’ gitu. Mereka berbaris untuk menyalami, tapi seperti tanpa kegembiraan.
Mutia juga tidak mengenalkan kelompok ini, seperti undangan dari pihak dia lainnya.
Dan, keanehan itu makin terlihat waktu seorang pria yang menyalamiku, antusias mengajakku bicara, sementara antrean di belakangnya juga seperti sengaja tidak jalan. Dari ekor mataku, kulihat tamu yang tadinya tengah menyalamiku, sedang bicara dengan Mutia. Dan, ya Tuhan, kulihat Mutia menangis.
Aku kaget. Kenapa Mutia menangis? Aku berniat untuk mengalihkan pandangan, tapi lelaki, teman Mutia di depanku, langsung berjalan, dan aku tersibukkan dengan teman-tamannya yang lain, yang sibuk mengucapkan selamat.
Aku melihat ada ''skenario'' di balik kejadian itu.
Dan saat kulirik, Mutia masih tergugu.
Ada apa? Siapa lelaki itu? Kenapa membuat Mutia menangis? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku, sampai acara selesai. Aku juga kehilangan kegembiraan setelah momen itu, ada jutaan pertanyaan dan sekaligus dugaan.
Ketika acara usai, dan pengantin digiring untuk makan bersama keluarga inti, aku berkesempatan ‘’kabur’’ dengan alasan ke kamar kecil. Padahal, aku bergegas ke kelompok teman Mutia. Kucari lelaki itu, tapi tak ada. Ke mana ya?
Setengah memaksa, ke mereka aku bertanya, apa sebabnya Mutia menangis? Dan mereka seperti menghindar, berkilah tidak tahu apa-apa. Bahkan mengaku tak ada melihat Mutia menangis. Tapi, seorang teman dekatnya, Norma, ketika kudesak memberi info, lelaki tadi adalah pacar Mutia.
Deg! Dadaku seperti dipukul palu. Mutia punya pacar? Mutia memiliki kekasih?
Mengapa dia tak cerita? Apakah dia terpaksa menikah denganku?
Terbit ribuan pertanyaan yang memperkeruh pikiranku. Ketika kembali ke ruang makan, aku kehilangan selera. Godaan, candaan dari adik-adikku, semua tak masuk telinga.
Aku mulai merasa, pernikahanku telah cidera. Di hari aku merasa akan memasuki fajar percintaan, kenyataannya seperti telah senja.
Semua Demi Ayah
Malam pertama kulewatkan tanpa olah asmara. Bagaimana aku selera, ketika di kamar hotel yang telah aku pesan untuk tiga malam itu, Mutia akhirnya mengaku, dia memang punya kekasih. Kekasih yang telah 3 tahun menemaninya.
Mutia juga berencana menikah dengan lelaki itu. Fauzi, lelaki itu, juga telah merencanakan banyak hal untuk mewujudkan rencana pernikahan itu.
Mutia tidak memberitahu ayahnya soal Fauzi. Bahkan, ketika ayahnya bertanya soal pinangan orang tuaku, Mutia tidak memberikan pendapat.
Katanya, dia tahu betapa ayahnya sangat menghormatio ayahku. Katanya, dia tahu ayahnya, dan keluarga mereka, amat berhutang banyak kebaikan dari ayahku. Katanya, sangat tidak mungkin baginya untuk menolak keinginan ayah,nya, apalagi dengan seribu cerita tentang aku yang sangat bagus di mata ayahnya.
‘’Makanya, pada ayah aku bilang, aku ikut apa kemauan ayah? Aku nggak ingin ayah kecewa, Mas?’’ akunya.
Tapi, kan aku yang jadi kecewa.
Dan kekecewaanku itu makin parah ketika Mutia meringkuk saat kusentuh. Ya, dia menolak. Dan aku tak ingin menjadi ‘’pemerkosa’’ di malam pernikahan kami.
Malam kedua, sama. Dia, seperti malam pertama, memilih tidur di sofa. Dia hanya dekat denganku saat makan dan salat. Selebihnya, dia dekat tapi tak tersentuh.
Ketika di hari ketiga ayah dan ibu datang, juga ayah dan ibunya, dia berubah sikap. Dia sangat manja, dan menggandeng lenganku. Dan tertawa gembira bersama ibu dan ayahnya.
Hari itu kami memang pulang dari ‘’bulan madu’’, kembali ke rumah yang sudah kupersiapkan jauh hari, meski masih sekomplek dengan ayah dan ibu.
Dan mulailah hari-hari yang aneh. Mutia melakukan semua hal sebagai istri, kecuali tidur bersama. Dia masak pagi, sarapan bareng, lalu kuantar ke kantornya. Sore kujemput atau dia pulang sendiri jika aku ada acara. Dari luar, kami adalah pasangan yang sempurna.
Tapi, aku sangat tersiksa. Dia istriku, halal untuk kucumbu, tapi aku tak bisa melakukannya.
Dia istriku, dan aku mencintainya, tapi dia terlihat sangat tak bisa menerimaku.
‘’Maaf banget ya, aku belum bisa, Mas…’’ begitu tiap kali dia kuajak tidur bersama.
Dan suatu malam, aku terbangun karena mendengar tangisan. Berjinjit, aku temukan Mutia lagi tersedu di mushala, tengah berdoa agar Allah memberikannya pintu keluar. Agar ada keadilan bagi dia dan Fauzi, pacarnya itu.
Ya Allah, ternyata di hatinya masih ada kekasihnya itu. Ternyata dia masih memikirkan lelaki itu. Apa dia masih berharap?
Paginya, kutanyakan soal itu. Dia jujur mengaku masih acap berkomunikasi dengan Fauzi. Aku sakit sekali mendengarnya. Rasanya seperti di tampar berkali ulang.
‘’Maaf, Mas Irfan memang baik, sangat baik bahkan. Tapi hatiku udah untuk Fauzi. Aku mencintainya…’’
Lalu kenapa kamu mau menikah denganku, Mutia? Mengapa kamu jalani kebohongan ini?
‘’Aku nggak ingin ayah kecewa, Mas. Inilah caraku berbakti pada ayah. Melihatnya bahagia karena aku menikahi lelaki pilihannya…’’
Ya Allah, senaif itu jalan pikirannya. Dia mau membahagiakan ayahnya dengan cara merusak kebahagiaannya dan juga diriku?
Di saat itulah aku mengatakan untuk bercerai padanya. Tapi, reaksinya luar biasa. Dia menangis dan bersimpuh agar aku tidak menempuh cara itu. Dia tidak sangguh untuk membuat ayahnya terluka. Dia tidak ingin jadi anak yang melukai ayahnya.
Tapi dia tidak memikirkan aku? Mau berapa lama aku dipenjara oleh sandiwara yang tidak masuk akal ini?
(Bagian pertama dari cerita Irfan, dengan akhir yang amat mencengangkan)
***tags: #curahati #perceraian #patah #bercerai #perjalanan cinta
Email: [email protected]
KOMENTAR
BACA JUGA
TERKINI

Harga Cabai Rawit di Pemalang Makin Pedas, Tembus Rp80.000 per Kilo
24 Maret 2023

Pemkab Jepara Taati Larangan Buka Puasa di Kalangan Pejabat dan ASN
24 Maret 2023

PSSI Rilis Lagu Resmi Piala Dunia U-20, Ini Judul Lagu, Pencipta, dan Penyanyinya
24 Maret 2023

Walikota Semarang Perintahkan Satpol PP Cegah Pembagian Takjil di Jalan Raya
24 Maret 2023

Nikahan Saudara Kembar Tiga di Demak, Mirip Karnaval
24 Maret 2023

Viral Detik-detik Wanita Melahirkan di KRL Commuter Line Stasiun Duri
24 Maret 2023

Warga Perlu Tahu! Walikota Semarang Sediakan Empat Titik Berbagi Takjil Buka Puasa
24 Maret 2023

Di-bully Habis-habisan oleh Warganet, Lina Mukherjee: Makan Babi Juga Duit Aku
24 Maret 2023