Pedihnya, Wanita yang Kunikahi Ternyata Jodoh Orang Lain (2 - Habis)
Ketika kutahu dia tak bahagia dengan pilihannya, aku tak bisa tertawa. Ada rasa sakit dan kasihan yang juga menghujam ke jantungku.
Selasa, 04 April 2023 | 12:59 WIB - Curahati
Penulis:
. Editor: Kuaka
TEKADKU BULAT sudah, pernikahan ini harus berakhir. Dan, sepertinya harapan dan doa itu terwujudkan, tapi dengan alasan yang paling tidak diinginkan Mutia. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga.
Jadi, meski pernikahan kami tetap berlanjut, tak ada rumah tangga yang sebenarnya. Dan, setelah enam bulan, aku memutuskan tidak melanjutkan sandiwara sebagaimana yang diiingikan Mutia. Aku dididik untuk tidak berbohong, apalagi kepada orang tuaku. Aku juga sangat tidak ingin menyakiti perasaan mereka dengan kebohongan terus.
BERITA TERKAIT:
Siapa Nadia Omara yang Sering Jadi Tempat Curhat Para Netizen? Begini Sosoknya
Nyesek Banget! Sudah Pesan Banyak Makanan, tapi Tak Ada Datang ke Pesta Ultah Wanita Ini
Alumni Indonesian Idol Musim 10 Anggi Marito Curhat Merasa Tak Dianggap di Rumah Sendiri, Sentil RCTI?
Bisakah Aku Lepas dari Jeratnya?
Suami Masih Saja Meminta Darahku
Maka, kepada ayah ibu, aku ceritakan semuanya. Bahwa Mutia sebenarnya menikah denganku hanya karena tidak ingin mengecewakan ayahnya. Mutia tidak ingin ayahnya dilema, karena sudah terlalu berutang budi pada ayah.
Ayahnya istighfar berkali-kali. Kaget. Ibu apalagi. Ibu bahkan menangis dan memelukku. Ayah tidak menyangka, kebaikannya kepada Pak Hery menjadi beban, sehingga Mutia tidak berani mengatakan apa adanya. Ibu tidak menyangka, istri yang mereka pilihkan justru memenjarakan anak lelaki satu-satu mereka dalam perkawinan sandiwara.
Ayah dan ibu meminta maaf. Sesuatu yang tak harus mereka lakukan. Aku tahu itu bukan salah ayah dan ibu. Juga bukan salah Pak Hery. Toh dia juga tidak memaksa Mutia. Hanya Mutia saja yang menafsirkan sendiri permintaan ayahnya sebagai cara membalas budi.
Ibu bersetuju jika aku harus menceraikan Mutia. Bagi ibu, jangan sampai pernikahan itu menghalangi aku, dan juga Mutia, untuk bahagia.
Ibu juga tidak menyalahkan Mutia sepenuhnya. Dia menduga, Mutia memang terbebani karena menjadi anak paling kecil, dan juga paling dekat dengan ayahnya. Mungkin cerita ayahnya tentang kebaikan kami yang membuat dia memberi keputusan yang salah itu.
Covid pun Jadi Hakim
Meski ayah dan ibu kecewa, mereka juga seperti Mutia, berpikir untuk menjaga perasaan Pak Hery. Ayah terutama, memintaku untuk bertahan dulu, agar perceraian itu tidak terjadi di awal pernikahan kami.
‘’Bertahan aja dulu. Siapa tahu Mutia berubah melihat ketulusanmu. Dia sebenarnya anak yang baik,’’ kata ibu.
Aku mengangguk saja. Tapi, kepada ayah ibu aku memberi waktu paling lama setahun. Setelah itu aku akan mengurus perceraian, disetujui atau tidak oleh Mutia.
Ibu setuju. Ayah juga bilang akan pelan-pelan bicara dengan Pak Hery, agar jika perceraian terjadi, dia tidak kaget dan menyalahkan keluarga kami, terutama aku. Karena bagi Pak Hery, Mutia pasti sosok yang luar biasa, anaknya yang sangat baik.
Waktu pun menjadi amat lambat berjalan. Bukannya muncul bibit cinta di Mutia, dia malah makin fokus ibadah, meminta ada jalan untuk kami. Jalan yang adil baginya, bagiku, dan bagi Fauzi.
Oh ya, meski kami tidak tidur bersama, Mutia juga tidak pernah bertemu langsung dengan Fauzi. Dia menjaga betul hal itu, dan hanya bertelepon saja. Padahal, aku juga sudah tidak terlalu memasalahkan. Bagiku, itu pilihannya untuk bahagia, ya sudahlah. Mau diapakan juga.
Maka rutinitas itu pun terjadi. Kami kemudian pergi ke kantor sendiri-sendiri. Dia pulang sore, aku sesukanya. Aku lebih sering pulang kantor ke rumah ibu, menemaninya yang sendiri sampai ayah pulang selepas maghrib.
Adik-adikku juga tidak ada yang tahu soal itu. Aku tak ingin mereka jadi menghakimi Mutia, dan membuat suasana jadi keruh. Yang penting, setahun setelah menikah, aku akan cerai.
Tapi, tanpa diduga, Covid-19 menyerbu Indonesia juga. Segala hal ikhwal perceraian yang aku persiapkan, jadi tertunda karena kantor yang panik karena Covid. Aku juga harus membantu kantor ayah, untuk mengubah pola produksi dan distribusi.
Dan ketika Covid makin menjadi-jadi, dan semua harus isolasi, urusan cerai itu jadi makin tak terpikirkan. Konsentrasi kami fokus ke bagaimana menghadapi Covid ini, terutama dari kelangsungan usaha.
Namun, ketika urusan kantor beres, kami bertubi menghadapi hal lain. Ibu kena Covid. Kami panik luar biasa. Setelah ibu kena dan sembuh, ayah juga terinveksi. Dan ini cukup parah, yang membuat aku mengambil resiko untuk nemani ayah selama perawatan.
Dan pasti, akhirnya aku pun terjangkiti. Untunglah, kami semua bisa bertahan. Dua adikku juga kena, juga suami mereka, tapi semua dengan gejala ringan. Dan yang tak kuduga, Mutia juga kena.
Dan, aku pun menjadi perawatnya. Mutia cukup parah, sampai harus dirawat nyaris tiga minggu penuh. Untunglah, dia lolos dari virus yang amat mematikan itu.
Perawatanku yang intens itu, ternyata membuat dia cukup berubah. Kami jadi dekat. Biasa bercerita, dan karena kebanyakan berada di rumah, kami jadi selalu berduaan.
Tapi ya cuma itu. Tidak lebih. Tidur kami tetap terpisah. Aku tak memintanya untuk ke kamarku. Dia juga tidak memindahkan dirinya. Doanya masih sama, minta Allah memberi dia jalan keluar, apakah harus terus bersamaku atau meneruskan cita-citanya.
Aku sendiri sudah nggak terluka mendengar doa-doanya. Biarlah.
Dan, diduga, di akhir 2020, tepatnya 29 November, pak Hery terkena Covid. Dan karena punya asma akut, Pak Hery kritis. Dan meski segala hal telah dilakukan, termasuk ayah yang pontang-panting mengusahakan segalanya, Pak Hery tak tertolong. Berpulang juga akhirnya.
Ini pukulan yang amat berat bagi Mutia. Apalagi, dia tidak diperbolehkan untuk mengantar ayahnya saat dikuburkan. Berkali-kali dia pingsan. Dan kembali aku merawat dirinya yang tengah berduka.
Kondisi ini yang membuatku kembali menunda perceraian. Nggak tega juga. Apalagi ibu langsung memintaku untuk tak membahas hal itu.
‘’Ibu yakin ini semua ada ujungnya, sabar saja,’’ pinta ibu.
Bercerai adalah Keinginan Mutia
Ketika aku mulai lupa dan terbiasa dengan perkawinan yang nggak jelas itu, Mutia yang justru mengingatkanku. Jika tak salah, itu sekitaran Mei 2021.
Intinya, ayahnya sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang membuatnya harus menjaga perasaan. Ibunya telah dia ceritakan semua, dan meski sedih, membiarkan Mutia memutuskan.
Oh ya, tanpa setahu Mutia, ibunya mendatangiku. Meminta maaf atas semua hal yang dilakukan Mutia, dan merasa bersalah. Aku tentu saja tidak menyalahkan Mutia tapi keadaan dan situasi.
Maka, kuminta Mutia saja yang mengurus semua tentang perceraian itu. Dan itu juga tertunda karena ada Covid gelombang kedua, di Juni dan Juli. Jadi, proses kami pun tertahan. Untunglah, di awal September, sudah ada panggilan untuk sidang perceraian.
Ya, aku tidak pernah datang. Ngapain coba. Alasan ‘’tidak ada kecocokan’’ kan juga mengada-ada. Maka, di Oktober 2021, aku pun menyandang status duda.
Rumah kemudian aku jual, seperempat uangnya kuberikan kepada Mutia. ‘’Untuk modal kawin,’’ kataku setengah bercanda. Dia menerima sembari tersenyum.
Sebenarnya tidak ada hak dia atas apapun barang di perkawinan kami. Tapi tak mengapalah. Mutia anak yatim, dan dia juga sudah berkorban dua tahun lebih menemaniku.
Setelah itu aku tidak begitu tahu kabarnya. Maklum, aku sibuk membenahi kantorku pasca-Covid. Ayah juga. Meski ayah tampaknya mulai pelan-pelan memberi tanggung jawab kantor kepada adik-adikku. Dan entah apa sebabnya, Mutia ternyata dikeluarkan dari kantor oleh adik-adikku. Saat kutanya, mereka bilang biar Mutia tidak terbebani dengan utang budi lagi.
Ya sudahlah, aku nggak mencampuri juga.
Jika tak salah, sekitar April 2022 aku mendengar kabar Mutia akan menikah. Ibunya yang mengabari ayahku. Tapi hal itu tak terlalu menarik perhatianku. yang aku kaget adalah dia ternyata mengundangku ke pernikahannya di bulan Mei.
Aku ya pasti tidak datang. Ngapain juga. Tapi ayah dan ibu tetap datang. Ya tidak kularang. Biarlah. Ibu, katanya, penasaran sama sosok Fauzi, yang dipertahankan Mutia mati-matian, yang membuat anaknya ini kalah telak. Hahaha… ada-ada aja deh ibu.
Setelah itu aku juga tak tahu kabar tentangnya lagi. Maklum, aku amat fokus dengan kantorku yang membuka cabang baru. Dan yang utama, aku tengah dekat juga dengan Savira, dan berniat serius dengannya. Apalagi ibu juga sudah suka dengan sosok Savira.
Duka Ternyata Baru Dimulai
Aku merencanakan pernikahan dengan Savira. Dan, kali ini aku hati-hati banget, bertanya dengan sejelas-jelasnya tentang hubungan kami, dan pernikahan seperti apa yang dia ingin lakukan. Aku juga bercerita sejelasnya tentang Mutia.
Savira ternyata sudah tahu. Ibu yang bercerita. Dan karena klop, kami pun berencana menikah di Maret nanti, di tanggal lahir Savira. Aku setuju saja.
Tapi, di akhir tahun 2022, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Bukan soal Savira, tapi Mutia. Mantan istriku itu, tiba-tiba menghubungiku, setelah whatsapp basi-basi tanya kabar dan lainnya. Aku awalnya tidak meladeni. Males. Untuk apa juga. Tapi, lama-lama, aku merasa aneh. Karena intensitasnya mengirim pesan kok makin kerap, terutama ketika malam.
Di dalam pesannya, ada permintaan bertemu. Tapi tidak kurespon. Aku malas bertemu istri orang yang mantan istriku. Malas juga menerangkan pada Savira. Jadi aku cueki saja.
Tapi, Mutia lalu mengirimiku pesan yang panjang. Bercerita tentang dirinya. Dan aku yang awalnya malas-malasan membaca, jadi terkaget-kaget.
Intinya, Mutia tidak bahagia. Fauzi yang dia cinta mati-matian itu, ternyata tidak seperti yagn dia bayangkan. Tiga bulan menikah, dia menemukan kenyataan bahwa Fauzi banyak utang. Terjerat pinjaman online. Uang Mutia yang dari pemberianku habis bercerai, bahkan telah dipakai Fauzi.
Tak hanya itu, Fauzi ini juga meledak-ledak jika marah, dan kasar. Suka membentak dan tak pulang jika marah. Kemudian, ibu Fauzi juga selalu turut campur urusan mereka, termasuk menyalahkannya jika dia bertengkar.
Yang paling parah, Fauzi ini jarang salat. Mutia amat menyesalkan hal itu.
Dia merasa telah salah pilih. Dia merasa telah menyia-nyiakan lelaki terbaik pilihan ayahnya. Dia merasa tengah dihukum Tuhan karena meninggalkanku dan memilih Fauzi yang menurutnya tak ada seperempat dari kebaikanku.
Aku tak merespon juga. Itu sudah pilihannya, rumah tangganya. Aku tidak mau mencampuri.
Tapi, suatu sore, dia menelponku, dengan tangis yang sangat keras. Aku pun bingung. Aku tak mendengar suaranya dengan jelas, sebelum telepon putus.
Aku lalu menelpon ibu, mengabarkan. Mana tahu Mutia butuh pertolongan. Ayah dan ibu pun ke sana, dan benarlah, terjadi pertengkaran hebat antara dia dan Fauzi. Dan lelaki itu melemparkan gelas ketika marah, yang pecah dan membuat luka pada tangan Mutia.
Mutia tidak berani mengabarkan kepada ibunya. Maka sementara dia tinggal di rumah kami. Aku tinggal di rumah adikku, yang marah dan meminta ibu segera tak lagi mengurusi Mutia.
Tiga hari Mutia di rumah kami, tapi menjadi hal yang merepotkan bagiku. Savira bertanya, mengapa keluargaku masih mengurusi Mutia, dan hal-hal lainnya.
Savira kian marah, ketika membaca Whatsapp Mutia kepadaku, yang berisikan penyesalahnnya karena berpisah dariku. Apalagi ada salah satu pesan itu yang berisi permintaan Mutia untuk kemungkinan aku kembali padanya, yang meski tak pernah kubalas, tapi lupa kuhapus.
‘’Mas masih ingin bersama Mutia? Mas masih merasa bertanggung jawab pada hidupnya?’’ kerkah Savira.
Untunglah aku bisa menjelaskan dengan sabar, dan apalagi memang tak ada bukti aku menanggapi curahan hati Mutia. Aku memang menahan diri untuk tak lagi mau mencampuri hidup yang telah dia pilih. Apalagi aku harus menjaga hati Savira, yang kini memilihku untuk menjadi imamnya.
Adikku, yang dikeluhi Savira, juga marah dan memintaku memblokir kontaknya.
‘’Biarkan Mas, dia itu kena karma karena melawan perintah orang tuanya. Kasihan tuh Pak Hery di dalam kubur,’’ kata adikku terkencil yang memang paling dekat denganku. Aku menyabarkannya saja.
Jadi begitulah. Saat ini aku menanti hari-hari untuk menikah lagi. Sementara Mutia, kata ibu, tengah menanti waktu untuk mengajukan perceraian, untuk kali kedua. Mungkin itu jalan nasibnya.
Beginilah kehidupan. Kadang, apa yang kita anggap buruk sebenarnya adalah kebaikan yang telah dipilihkan Tuhan. Aku bersyukur telah mendapatkan pengalaman hidup yang luar biasa kaya ini. Dan bersyukur tak pernah berbohong kepada orang tua, yang semoga, membuatku akan berkah menjalani kehidupan.
(Sebagaimana cerita Irfan, di antara makan panjang di Blue Lotus Semarang)
***tags: #curhat #curahati #insani #kisah #kisah cinta
Email: [email protected]
KOMENTAR
BACA JUGA
TERKINI
PT Pelni Cabang Semarang Kerahkan Enam Armada Kapal untuk Mudik Lebaran
29 Maret 2024
Rembang Perlu Kerja Keras Turunkan Angka Kemiskinan
29 Maret 2024
Polda Jateng Bagi-bagi Sembako dan Gelar Layanan Kesehatan di Magelang
29 Maret 2024
Membahayakan! Kapolres Pati Imbau Orangtua Tak Belikan Anak Sepeda Listrik
29 Maret 2024
Jelang Lengser, Jokowi Ingin Indonesia Kuasai 61 Persen Saham Freeeport
29 Maret 2024
Perputaran Uang Selama Ramadan dan Lebaran 2024 Diprediksi Tembus Rp157,3 Triliun
29 Maret 2024
99 Napi Nasrani di Lapas Semarang Ikuti Ibadah Paskah
29 Maret 2024
Pria Asal Banyumas Ditemukan Tewas di Kamar Kos Bergas Semarang
29 Maret 2024
Puluhan Pelajar di Demak Diamankan Polisi karena Diduga Mau Perang Sarung
29 Maret 2024