Suami Masih Saja Meminta Darahku
Mas Adi tidak ada. Bergegas aku ke kamar. Pasti dia sakit. Tapi, begitu pintu kamar kubuka, aku yang langsung berteriak. Dadaku serasa dipukul keras, aku bahkan nyaris tak mempercayai apa yang terpampang di depan mataku.
Rabu, 03 Mei 2023 | 08:58 WIB - Curahati
Penulis:
. Editor: Kuaka
SIANG MEI tahun lalu, tak ada pertanda bahwa aku akan mengalami peristiwa besar. Bangun pagi, membuat sarapan untuk Mas Adi, membangunkan Isma, keponakanku yang masih kuliah, aku lalu berangkat kerja diantar suami.
Pagiku di kantor juga biasa. Tak ada yang mengejutkan. Cuma, saat makan siang, tanpa sengaja aku menjatuhkan gelas minumku. Gelas pecah, airnya tumpah.
BERITA TERKAIT:
Bisakah Aku Lepas dari Jeratnya?
Suami Masih Saja Meminta Darahku
Kau yang Mulai, Kau yang Harus Hentikan Dosa Ini...
Pedihnya, Wanita yang Kunikahi Ternyata Jodoh Orang Lain (2 - Habis)
Pedihnya, Wanita yang Kunikahi Ternyata Jodoh Orang Lain (1)
Tapi itu kejadian yang biasa juga. Bahkan, ketika aku pulang cepat, sekitar jam dua siang, karena ada rapat pimpinan, belum ada tanda-tanda aneh.
Aku baru merasa aneh saat setelah turun dari ojol dan berjalan ke rumah, melihat mobil Mas Adi terparkir. Kok Mas Adi di rumah? Apa cuma mampir? Atau sakit, sehingga pulang cepat?
Karena kuatir, aku mempercepat langkah. Kebiasaanku adalah masuk dari belakang, menuju kamar mandi untuk cuci kaki dan muka, baru menginjak rumah. Tapi, karena khawatir, aku tak mampir dulu ke kamar mandi, langsung menuju ruang tengah.
Mas Adi tidak ada. Bergegas aku ke kamar. Pasti dia sakit. Tapi, begitu pintu kamar kubuka, aku yang langsung berteriak. Dadaku serasa dipukul keras, aku bahkan nyaris tak mempercayai apa yang terpampang di depan mataku.
Ya Tuhan..., Mas Adi terbaring. Dia tidak sakit, tidak. Karena dia berbaring sambil memeluk tubuh seorang wanita.
Wanita tanpa busana.
Ya, Isma, keponakanku itu!
Duniaku pun gelap.
(Isma adalah anak kakakku yang tertua. Aku sendiri anak bungsu, dari enam bersaudara. Karena ekonomiku cukup mapan, kakak menitipkan Isma selepas SMA, dan berkuliah di sini.
Aku ikut membantu biayanya, sejak 4 tahun lalu. Isma ponakan yang baik. Lagipula, usiaku yang hanya terpaut 6 tahunan, membuat kami gampang dekat. Kami bahkan nyaris seperti kakak-adek. Apalagi, Isma pun lebih sering memanggilku Mbak.)
Setelah peristiwa itu, aku mengusir Isma. Tapi Mas Adi menghalangi. Ia mengancam, jika aku mengusir Isma, ia juga akan pergi dari rumah itu.
Segera aku mengungsi, ke rumah orang tua Mas Adi. Aku ceritakan semuanya. Tapi tanggapan mereka membuatku kecewa. Mereka malah menyalahkanku, yang memutuskan menunda punya anak, juga menyalahkan keputusanku yang menampung Isma.
"Coba kamu tidak membawa keponakan ke situ, kan nggak ada apa-apa? Coba kalau kamu punya anak, pasti Adi tidak akan begitu!"
Bukannya pembelaan, aku malah dipojokkan. Mereka tidak mau tahu.
Aku juga menjelaskan hal itu pada kakakku, tapi oh Tuhan, jawaban yang sama aku dapatkan. Dia marah-marah, dan mengatakan aku yang "mengumpankan" Isma pada suamiku. Jadi, "Sekarang ya harus kamu tanggungkan sendiri!"
Aku serasa tak punya teman. Kakakku yang lain hanya menganjurkan cerai, jika aku tak kuat. Bagiku, itu bukan jalan keluar...
Isma sendiri, nyaris seperti tak mau tahu. Dia tetap saja bertingkah seperti biasa. Bahkan, paska kejadian itu, ia acap pulang dari kampus diantar Mas Adi. Dan, aku tahu, mereka masih meneruskan hubungan itu, bahkan di rumah.
Aku seperti akan gila.
(Dari seorang teman, aku diperkenalkan dengan orang pintar, di Pedurungan, yang bisa mengobati suamiku. Aku diberi pilihan, membuat suamiku lupa pada Isma, atau membuat suamiku impoten.
Aku memilih yang pertama.
Orang pintar itu --seorang wanita paro baya-- memberiku semacam "mantra" yang dibaca tujuh fajar Jumat, dan air putih yang harus aku masukkan ke bak mandi agar kena tubuh Mas Adi. Hasilnya? Sia-sia.
Sampai dua kali aku ke "dukun" itu, tak ada perubahan. Bahkan, karena paniknya, saat aku meminta agar Mas Adi dibuat impoten pun, tak ada perubahan. Cairan yang aku oleskan ke celana dalam Mas Adi tak berpengaruh apa pun!
Aku lalu kembali ke seorang paranormal. Dia minta foto Mas Adi dan Isma. Dan meminta aku ziarah ke sebuah makam dengan membaca doa tertentu. Di depanku, dia membakar dua foto itu, dan meminta aku menunggu tiga Jumat.
Hasilnya? Aku malah seperti diejek oleh kemesraan mereka, yang kian berani di depanku. Tuhan, maafkan, aku telah berlaku syirik, telah mempercayai nasibku kepada orang lain, bukan kepada-Mu)
Setelah usahaku gagal, aku kemudian pasrah. Aku tanya baik-baik, apa salahku sehingga dia sampai berbuat demikian. Apa yang dia inginkan.
Ohh Tuhan, barulah aku tahu, dengan sinis Mas Adi mengatakan bahwa ia kecewa karena mendapatkan aku sudah tak lagi perawan!
Masya-Allah, bagai tersambar petir aku mendengar hal itu. Ternyata, ternyata, dia masih mempermasalahkan hal itu. Ternyata dia tak percaya pada penjelasanku!
(Dulu, setelah menikah, dia memang bertanya, kenapa tak ada darah di seprei usai malam pertama kami. Aku sambil tertawa, berkata, "Masa harus berdarah sih? Kalau tidak berhenti bagaimana?" Ia tertawa. "Ya nggak berdarah juga nggak papa, asal asli.")
Ternyata, dia masih tidak yakin bahwa aku suci. Aku lalu bersumpah atas nama Tuhan, bahwa dialah lelaki pertama yang menjamahku. Bahwa dialah lelaki pertama yang pernah tidur denganku. Tapi Mas Adi hanya tertawa. "Keponakanmu lebih suci daripada semua sumpahmu," serapahnya.
Aku juga sudah mencoba mendekati Isma, menyembah agar mau menolongku. Aku berjanji akan membantu biaya kuliahnya, asal dia mau menjauhi Mas Adi. Tapi, keponakanku itu menggeleng.
"Aku sudah menyerahkan semuanya pada Mas Adi. Tidak akan ada lagi yang mau denganku selain dia, Mbak. Aku juga nggak ingin mengalami nasib seperti Mbak."
Ya Tuhan, bahkan Isma pun percaya bahwa aku telah tak suci lagi saat menikah. Kenapa mereka berpikir sepicik itu. Apa salahku? Apakah aku harus berdarah agar dikatakan suci.
Salah siapa kalau aku memang tidak berdarah? Kenapa harus darah yang jadi tanda? Ohh! Tidak cukupkah semua tingkah lakuku menjadi tanda bahwa aku ini bukan perempuan murahan sebagaimana yang mereka bayangkan!
Tuhan, tolonglah hamba-Mu ini.
Kini, aku sudah lelah. Capek. Sudah hampir setahun ini kucoba menguatkan diri, mencoba segala cara, agar Mas Adi, Isma, dan aku berubah, tetap gagal.
Orang tua Mas Adi lepas tangan. Kini aku bahkan nyaris seperti menumpang di rumah sendiri. Kamarku selalu sepi, karena Mas Adi memilih tidur bersama Isma.
Satu yang kuharapkan, Mas Adi akan berubah, akan kembali. Alasan aku bertahan, karena aku tahu, Isma tidak akan mampu memberi keturunan padanya.
Ya, Isma tak subur. Hal itu aku ketahui dari percakapan mereka di kamar, sebelum tahun baru lalu. Kondisi itu, kuharap akan membuka mata Mas Adi, bahwa aku lebih menjamin dia untuk hari tuanya. Bahwa aku siap menerimanya, meski telah dia sakiti. Aku akan bertahan, entah sampai kapan....
[Sebagaimana curhat Ny. Adi, dan dinarasikan melalui persetujuannya]
***tags: #curhat #curahati #insani #nestapa #selingkuh
Email: redaksi@kuasakata.com
KOMENTAR
BACA JUGA
TERKINI

Gus Yasin Tegaskan Pesantren Harus Ramah Anak dan Perempuan
30 Mei 2023

Polri Bentuk Posko Monitoring Pantau Penerimaan Anggota Secara Realtime
30 Mei 2023

Tiga Pelaku Pencurian dengan Pemberatan Diringkus Polisi
30 Mei 2023

Kedapatan Bawa Pistol Airsoft Gun, Empat Pemuda di Depok Dibekuk Polisi
30 Mei 2023

Kemenag Ingatkan Katering Makkah agar Tepat Waktu Distribusikan Makanan
30 Mei 2023

Ribuan Warga Antusias Saksikan Karnaval Pembangunan Bangga Sragen
30 Mei 2023

Embarkasi Solo Pulangkan Satu Calon Jemaah Haji, Ini Alasannya
30 Mei 2023

Bupati Khadziq Berharap Anak-anak Miliki Karakter Temanggungan
29 Mei 2023

DVY Suarakan Keseimbangan di EP Perdana “Same As You”
29 Mei 2023