Mas Aboekassan Atmodirono, Arsitek Pribumi Pertama di Zaman Kolonial Belanda
Nama Atmodirono sendiri pun diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Kota Semarang untuk mengenang jasa-jasanya.
Sabtu, 15 Februari 2025 | 10:29 WIB - Kisah
Penulis:
. Editor: Rahardian
Banyak sekali di Indonesia bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda yang dibangun oleh arsitek asal Belanda selama berkedudukan di Indonesia. Namun selama masa kependudukan Belanda, dari kalangan Pribumi sendiri pernah memiliki sosok arsitek yang kemampuannya bisa disejajarkan dengan para arsitek asal Eropa. Tidak hanya itu, karya-karyanya pun juga diakui oleh orang-orang Eropa pada masa itu. Salah satu bangunan hasil karyanya yaitu Societeit Sasana Soeka atau sekarang Monumen Pers Nasional di Surakarta, Jawa Tengah.
Jika ditelusuri ke belakang, masyarakat Indonesia mempunyai tradisi merancangan bangun yang diwarisi secara turun temurun. Namun berbeda jika berbicara soal sejarah profesi arsitek di Indonesia, umumnya akan mengarah ke insinyur Pribumi pertama pada masa Hindia Belanda pada 1918, yaitu R.M. Notodiningrat. Sosok ini meraih gelar insinyur teknik sipil dari Delft, Belanda.
BERITA TERKAIT:
Mas Aboekassan Atmodirono, Arsitek Pribumi Pertama di Zaman Kolonial Belanda
Siapa Dee Adnan Kekasih Tyo Nugros? Ternyata Begini Sosoknya
Ajak Generasi Muda Teladani Bung Karno, Djarot: Arsitek yang Bangun "Jembatan" Kemerdekaan Bangsa-bangsa di Dunia
Aboekassan Atmodirono lahir pada tanggal 18 Maret 1860 di Purworejo, Jawa Tengah. Pada kemudian hari, ia hanya memakai nama keluarga, Atmodirono, seturut ayahnya yang seorang Jaksa Kepala di daerah Purworejo. Lahir dari golongan keluarga terpandang sehingga ia memiliki kesempatan yang sama dengan anak-anak Eropa di Hindia Belanda kala itu. Karena lahir dari keluarga terpandang, ia bisa mengenyam pendidikan di sekolah Belanda, Europeesche Lagere School (ELS). Selepas ELS, Atmodirono melenggang ke Batavia, menjadi murid yang tekun di sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (KWS).
Bekal dari menuntut ilmu di ELS hingga lulus KWS pada 1878, mengantarkan Atmodirono ke arena lapangan kerja yang terbilang baik. Pada usia 18 tahun, dia telah menjadi staf pengawas di Burgerlijke van Openbare Werken (BOW), Dinas Pekerjaan Umum pemerintahan kolonial. Berawal dari jabatannya sebagai pengawas kelas tiga, jalan nasib Atmodirono menanjak mantap seiring pengabdiannya di departemen tersebut. Ia naik tingkat menjadi pengawas kelas dua, sampai kemudian hari mencapai kelas satu.
Selama mengabdi di sini, Atmodirono bekerja di berbagai daerah, mulai dari Pasuruan, Purworejo, Kebumen, Karanganyar, Banjarnegara hingga Semarang. Perjalanan Atmodirono dari menjalani pendidikan hingga menjadi ambtenaar di Semarang, dicatat oleh R.A. van Sandick dalam Levensschets van M.A. Atmodirono (1921). Menurut Sandick, pencapaian karier Atmodirono hingga saat itu merupakan sebuah pencapaian yang besar bagi seorang Pribumi. Posisinya dalam pekerjaan membuat Atmodirono tercatat sebagai satu dari sedikit bumiputra masa itu yang level pekerjaannya setara orang-orang Eropa di Hindia Belanda.
Lama berkecimpung di bidang pekerjaan umum, membuat Atmodirono punya kompetensi yang mumpuni soal perancangan, baik bangunan maupun ruang. Karena itulah, pada 1898, dia pun menjalani ujian arsitek dan lulus dengan cemerlang.
Sejak itu, Atmodirono kemudian diangkat sebagai arsitek di dinas pekerjaan umum kolonial. Di titik ini, Atmodirono telah diakui secara sah sebagai seorang arsitek, dan menjadi yang pertama dari kalangan Pribumi hingga masa itu. Di lingkup tugasnya sendiri, Atmodirono memberi perhatian besar pada persoalan saluran pembuangan air kota. Selanjutnya posisinya semakin mapan dengan bergabungnya Atmodirono sebagai anggota perhimpunan teknisi bangunan Vereeniging van Bouwkundigen in Nederlandsch-Indie (VvBNI). Meski bukan lulusan sekolah arsitektur, ia tetap diakui memiliki kompetensi cemerlang sebagai seorang arsitek.
Buktinya, pada 1914, Atmodirono ikut serta dalam perancangan beberapa paviliun yang dipersiapkan kolonial untuk perayaan seabad lepasnya Belanda dari Prancis. Atas pengabdiannya yang panjang sejak 1878, Atmodirono pun dianugerahi penghargaan Orde van Oranje Nassau (sebuah penghargaan kekesatriaan sipil dan militer dari kerajaan Belanda) pada 1912. Sekali lagi, penghargaan itu menjadi perhatian bagi para insinyur pengawas di Semarang dan sekitarnya masa itu.
Meskipun begitu, tak banyak catatan tentang warisan rancang-bangun Atmodirono sebagai arsitek di lembaga pemerintahan kolonial. Namun, namanya menjadi besar sebagai seorang arsitek ketika merancang bangunan Gedung Societeit Sasana Soeka di Surakarta. Diketahui gedung Societeit Sasana Soeka diresmikan pada 31 Juni 1918, sebagaimana dicatat Pusat Dokumentasi Arsitektur dalam Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif Arsitektural Indonesia (2003).
Pembangunan Gedung Societeit Sasana Soeka di Surakarta sendiri pun berjalan atas restu Mangkunegara VII. Gedung ini dibangun sebagai tempat perkumpulan bagi societeit Mangkunegaran, tempat bertemunya para keluarga besar Mangkunegaran, sekaligus tempat dihelatnya agenda-agenda yang sarat muatan sosial. Gedung Societeit Sasana Soeka mengambil model yang sangat maju untuk zamannya, dengan perpaduan gaya bangunan Eropa klasik dengan gaya Timur. Gaya fasad yang bertingkat menyerupai struktur candi, dipadukan dengan jejeran tiang-tiang kokoh, jendela, dan langit-langit yang tinggi khas art deco Eropa masa itu.
Pembangunan Gedung Societeit Sasana Soeka tentu semakin mendongkrak nama Atmodirono di mata para insinyur Eropa. Pencapaian Atmodirono memberi dimensi tersendiri dalam konteks sosial kala itu, bahwa seorang Pribumi mampu merencanakan dan mengawasi pekerjaan keteknikan modern yang semula hanya dikuasai oleh orang-orang Belanda. Pembangunan gedung ini juga menunjukkan kualitas dinamis dirinya. Meski menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, dia tak meninggalkan akar budaya Jawa pada konsep arsitektur.
Di sisi lain, dikutip dari laman Ikatan arsitek Indonesia, karya arsitektur Atmodirono pada Gedung Societeit Sasana Soeka dianggap segar. “...merintis ekspresi multikultural yang unik, gabungan kreatif arsitektur Barat yang fungsional-rasional dengan kekhasan arsitektur Hindu-Jawa yang sarat simbol dan makna.” Selain itu, Gedung Societeit Sasana Soeka kelak menjadi bangunan bersejarah yang menjadi saksi lahirnya Radio Republik Indonesia, radio publik pertama yang dioperasikan oleh Pribumi Indonesia pada 1933. Satu dekade berikutnya juga menjadi saksi lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia. Sampai pada tahun 1978, Gedung Societeit Sasana Soeka resmi menjadi Monumen Pers Nasional.
Walaupun lahir dari golongan terpandang, Atmodirono seperti tokoh intelektual Pribumi pada masa itu yang memiliki kesadaran kerakyatan yang besar. Dia bersimpati terhadap kehidupan wong cilik. Ia memiliki keyakinan salah satu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat adalah melalui pendidikan. Keyakinan inilah yang mendorongnya bergabung dengan organisasi Budi Utomo, dan menjadi pengurus penting, bahkan masuk bursa calon ketua pada kongres pertama organisasi ini di Yogyakarta pada 1908.
Di organisasi lainnya, Kartini Vereeniging atau (Yayasan Kartini), Atmodirono pun berperan besar dalam mendorong lahirnya sekolah untuk anak-anak perempuan di Semarang, Kartini School pada 1913. Sekolah ini merupakan sekolah yang didirikan untuk menghormati sekaligus mewarisi semangat Raden Ajeng Kartini, meski pendiriannya juga bercampur bias politik etis (politik balas budi) Belanda.
Terlepas dari itu, jasa Atmodirono paling mencolok untuk pendidikan wong cilik yaitu pada inisiatifnya di Sekolah Malam Bidang Teknik, Technische Avondschool yang didirikannya di Semarang pada 1913. Sekolah ini didirikan di bawah yayasan Mangoen Hardjo, organisasi pegawai Pribumi yang berdiri tahun 1911 dan diketuai oleh Atmodirono sendiri. Technische Avondschool berfokus pada pengajaran ilmu teknik bangunan. Atmodirono memiliki misi menciptakan para ahli teknik bangunan, khususnya dari golongan rakyat kecil yang tak dapat mengenyam pendidikan teknik di Batavia atau Eropa.
Karena didirikan secara mandiri di bawah yayasan, sekolah ini tak punya gedung sendiri. Aktivitas belajar-mengajar memanfaatkan gedung Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Pembelajaran berlangsung 5 kali dalam sepekan, dengan jadwal sore hingga malam hari. Meski terbatas dalam hal fasilitas gedung, sekolah ini menerapkan standar pembelajaran yang tinggi. Ilmu teknik yang diberikan di sini mengadopsi silabus dari sekolah teknik KWS di Batavia. Begitu pula untuk tenaga pengajar, Atmodirono melibatkan insinyur dari Burgerlijke van Openbare Werken.
Menariknya lagi, sekolah ini memiliki prospek yang baik bagi para lulusannya. Tidak asal belajar, para lulusan disalurkan ke perusahaan-perusahaan milik negara ataupun swasta, hingga ditarik ke posisi pengawas pekerjaan umum di Semarang. Bersamaan dengan itu, aktivitas politik atau pergerakan Atmodirono juga terus berlanjut. Selain aktif mengurus Mangoen Hardjo yang berkembang pesat dengan puluhan kantor perwakilannya di Jawa dan Madura, ia juga menjabat sebagai sekretaris untuk organisasi bupati era kolonial, Sedyo Moeldjo. Bersamaan dengan itu, ia pun duduk sebagai anggota Dewan Kotapraja Semarang.
Kiprah yang luas sebagai arsitek, pendidik hingga anggota berbagai organisasi membuat nama Atmodirono semakin besar. Pengalaman sebagai Dewan Kotapraja hingga menjalankan organisasi Mangoen Hardjo dengan ribuan anggota di Jawa dan Madura, mendorong Atmodirono ke kancah politik yang lebih tinggi. Pada 1918, Atmodirono resmi menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Pribumi pada masa kolonial Belanda. Dengan Jabatan ini memberinya peluang untuk berbuat lebih banyak dan lebih berdampak untuk kemajuan masyarakat yang di masa itu, sudah memiliki konsepsi jelas tentang nasionalisme dan kebangsaan.
Niat tersebut sebagaimana termanifestasikan dalam sebuah pidatonya yang dicatat Amen Budiman dalam Suara Merdeka edisi 8 oktober 1976. Dalam pidatonya itu, Atmodirono mengungkapkan keprihatinannya terkait kehidupan masyarakat. Dia bahkan berjanji tidak akan menggunakan jabatannya untuk bersenang-senang atau sibuk berdebat kusir semata tanpa memberi dampak nyata.
Namun sayang, niat mulianya berkiprah di Volksraad tidak bisa berlangsung lama. Usianya yang tak lagi muda, membuatnya sakit-sakitan. Pada tahun kedua masa baktinya, kesehatan Atmodirono semakin memburuk dan mulai sering melewatkan berbagai pertemuan di Batavia (Jakarta), termasuk pertemuan kota di Semarang. Pada 23 Juli 1920, Atmodirono menghembuskan napas terakhirnya di usia 60 tahun. Prosesi pemakamannya di Pemakaman Bergota, Semarang, menurut catatan Sandick, dihadiri oleh para pembesar. Mulai dari walikota, asisten residen, bupati, petinggi Budi Utomo hingga organisasi lainnya.
Rakyat Indonesia mungkin belum mengenal lebih jauh sosok Atmodirono ketika wafat. Namun bagi Semarang, dia adalah salah satu figur terbesar dari era Pra-Kemerdekaan. Nama Atmodirono sendiri pun diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Kota Semarang untuk mengenang jasa-jasanya.
***tags: #arsitek #mas aboekassan atmodirono #pribumi
Email: [email protected]
KOMENTAR
BACA JUGA
TERKINI

Bank Jateng-Pemkot Magelang Percepat Penyaluran 20.000 KPR FLPP untuk MBR
19 Juli 2025

Bupati Sragen Resmikan Bangsal Baru dan Layanan HD RSUD Gemolong
19 Juli 2025

Diresmikan Kapolri, 28 SPPG Diharapkan Penuhi 96.000 Penerima Manfaat
18 Juli 2025

Menag dan Gubernur Sultra Bahas Rencana Pendirian Asrama Haji
18 Juli 2025

Satu Orang Tewas dalam Kecelakaan di Jaksel
18 Juli 2025

Sebanyak 461 Pemuda di Indonesia Ikuti Program Magang ke Jepang
18 Juli 2025

Kanim Wonosobo Gelar Operasi Serentak TKA WIRAWASPADA, Ini Hasilnya
18 Juli 2025

Polisi Sita 351 Kontainer terkait Kasus Tambang Batu Bara Ilegal di IKN
18 Juli 2025