Sosok Kakak RA Kartini, RMP Sosrokartono "Si Jenius dari Timur" yang Melegenda

Sebagai seorang jurnalis, prestasi Sosrokartono lainnya yakni bisa memotret kawah Gunung Kawi dari atas udara, tanpa menggunakan pesawat terbang.

Kamis, 10 November 2022 | 20:31 WIB - Kisah
Penulis: Wisanggeni . Editor: Wis

MASYARAKAT Indonesia pasti tidak asing dengan Raden Ajeng Kartini, RA Kardinah, dan RA Roekmini. Tentu yang paling berkesan dari ketiganya adalah RA Kartini yang sejak muda telah gigih memperjuangankan emansipasi wanita. 

Namun tahukan anda selain dua saudara perempuan itu, RA Kartini juga memiliki kakak laki-laki yang turut mempengaruhi cara berpikirnya. Sosok tersebut adalah Raden Mas Panji (RMP) Sosrokartono, putra keempat Raden Mas Ario Samingun Sosroningrat tersebut merupakan orang pribumi pertama melanjutkan perguruan tinggi di negari Belanda

BERITA TERKAIT:
Natal, Hotel Metro Semarang Gelar Christmas Lighting Ceremony
Ngaku Wartawan, Tiga Pria dan Satu Wanita di Semarang Peras Warga Rp70 Juta
Ketua Dewan Pers Ungkap Tantangan Wartawan untuk Sajikan Informasi Berkualitas: Dituntut Multitasking Tapi Minim Fasilitas
Kepala Kanim Wonosobo Ajak Wartawan jadi Mitra, Teman dan Sahabat
Ngakak! Kadinkes Lampung Reihana Dicecar Wartawan dengan Pertanyaan Julid: Ibu Penyanyi ya Bu? Rihana?

Kakak kandung Kartini tersebut juga merupakan orang Indonesia pertama yang meraih gelar sarjana dari Universitas Leiden. Sosrokartono merupakan seorang poliglot, yang menguasai 24 bahasa.

Sosrokartono sebelum ke Belanda, mengenyam pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang. Sekolah tersebut menggunakan bahasa pengantar Bahasa Belanda dalam pengajarannya.

Usai menyelesaikan studinya di HBS Semarang, Sosrokartono melanjutkan studinya Polytechnical School di Delft pada tahun 1896. Namun ia merasa passion-nya bukan di teknik namun di humaniora, sehingga Sosrokartono memutuskan pindah Universitas Leiden pada tahun 1901.

Di Leiden, Sosrokartono mengambil jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Sebelum melanjutkan sekolah di Leiden, Sosrokartono dengan kemampuan bahasa Jawa-nya membantu G.P Raouffaer dan H.H Juynboll di tahun 1899 menyelesaikan tulisan Seni Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya. Tulisan tersebut akhirnya terbit pada tahun 1914.

Sosrokartono di awal kuliah di Belanda selain terkenal dengan sebutan "Pangeran Jawa" dan "Si Jenius dari Timur", ia juga merupakan orang pertama di Indonesia yang berbicara di publik saat berada di negeri Kincir Angin.

Ia pernah berbicara di Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda ke-25, pada tanggal 29 Agustus 1899. Sosrokartono dalam kongres tersebut berpidato perihal kondisi bahasa Belanda di Jawa. 

Pidato Sosrokartono tersebut dianggap jelas dan tertata dengan bagus, ia tidak hanya mengkritisi isu Belanda di Hindia Belanda namun juga mengamini bahwa penjajahan Belanda memiliki manfaat bagi penduduk di Jawa.

Kurangnya penguasaan bahasa Belanda, kata Sosrokartono berdampak pada pengetahuan di Indonesia. Sebab saat itu, orang Belanda yang berada di Hindia tidak mau berbicara bahasa Belanda dengan orang Indonesia yang di bawah kekuasaannya. Oleh itu, ada penurunan bahasa yang dikenal dengan bahasa Belanda Indisch.

Berbahasa Belanda yang benar, menurut Sosrokartono dapat membangkitkan simpati kedua belah pihak, mempermudah tata pemerintahan, dan bermanfaat untuk perkembangan pengetahuan tentang Indonesia. 

 

Dalam penutupan pidatonya, Sosrokartono mengungkapkan harapannya. Ia ingin agar orang Jawa mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan Barat, dan jauh dari kebodohan.

Masa Perang Dunia I
Saat kuliah di Leiden, Sosrokartono pernah bergabung dengan Indische Vereeniging yang didirikan para pelajar Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia didirikan pada 1908. Ketuanya R. Soetan Casajangan Soripada. 

Sosrokartono bersama R.M Soemitro, dan R. Hoesain Djajadiningrat mengisi komisi yang mengusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perhimpunan tersebut agar lebih rinci.

Ia sebelum lulus dari Leiden, pernah menjadi wartawan pada masa Perang Dunia I, Sosrokartono pernah menjadi koresponden surat kabar Amerika seperti New York Herald (Tribune) pada tahun 1917. 

Pria kelahiran Pelemkerep Jepara itu juga menulis untuk surat kabar De Telegraaf, ia rutin menulis seputar perang di front timur. Sosrokartono juga dikenal dengan nama pena Raden Bonang.

Mohammad Hatta dalam bukunya "Memoir", menuliskan sosok Sosrokartono sebagai seorang wartawan perang. Sebagai seorang wartawan, ia memperoleh gaji sebesar USD1250. 

Guna memudahkan pergerakan Sosrokartono selama Perang Dunia I, ia diberi pangkat Mayor oleh Panglima Perang Amerika Serikat. 

Sosrokartono juga termasuk salah satu tokoh, yang diduga menghadiri perundingan perdamaian rahasia di hutan Champaigne, Prancis Selatan. Saat itu banyak wartawan yang mencium adanya 'perundingan perdamaian rahasia' yang diadakan di hutan Champaigne tersebut.

Saat para jurnalis tersebut masih sibuk mencari informasi, tak berselang lama New York Herald Tribune telah berhasil memuat hasil perundingan yang menggemparkan Amerika dan Eropa tersebut. 

Penulis berita perundingan itu 'anonim', hanya menggunakan kode pengenal 'Bintang Tiga'. Namun di kalangan wartawan Perang Dunia I, kode tersebut merupakan kode dari wartawan perang R.M.P. Sosrokartono.

Sebagai seorang jurnalis, prestasi Sosrokartono lainnya yakni bisa memotret kawah Gunung Kawi dari atas udara, tanpa menggunakan pesawat terbang.

Pada tahun 1925, Sosrokartono meraih gelar Doctor in de Oostersche Taalen dari University of Leiden. Di tahun itu pula ia pulang ke Hindia Belanda, sebuah negeri yang telah ia tinggalkan selama 29 tahun.
 

***

tags: #wartawan #perang dunia 1 #ra kartini #belanda #sosrokartono

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI