Kisah Hafshah, Istri Nabi Muhammad (4)
Oleh Elbara Lazuardi
Hafshah kemudian hidup zuhud sebagai penghapal Al-Qur’an dan menjaga catatan pertama itu sampai dia meninggal.
Sabtu, 21 Januari 2023 | 07:55 WIB - Kisah
Penulis:
. Editor: Kuaka
SELAIN AISYAH yang gadis, semua istri Nabi Muhammad adalah janda. Para janda itu Rasulullah pilih selain untuk membantu dan memuliakan perempuan, juga untuk kepentingan dakwah Islam. Beberapa dari istri Rasulullah juga janda dari para sahabatnya yang ikut berjuang menegakkan panji-panji Islam, lalu gugur di medan pertempuran.
Saudah yang menjadi istri kedua adalah janda dari sahabat Rasulullah. Juga istri keempatnya, Hafshah binti Umar, janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahami, sahabat Nabi yang terluka dan gugur dalam perang badar.
BERITA TERKAIT:
Kisah Hafshah, Istri Nabi Muhammad (4)
Rasulullah meyakini mereka yang berjuang di jalan Allah harus mendapatkan pembelaan dan kemuliaan, termasuk atas keluarganya, terutama dari serangan fisik dan fitnah kaum musyrik. Menikahi Hafshah bin Umar adalah bagian dari menjaga kemuliaan itu.
(4) Hafshah binti Umar bin Khattab
Hafshah adalah putri sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab. Seperti ayahnya, Hafshah juga bukan bagian dari yang pertama memeluk Islam. Kita tahu, Umar adalah sosok pemarah dan kejam, sebelum keislamannya. Umar marah ketika mengetahui keislaman adiknya Fathimah beserta suaminya Said bin Zaid. Namun, ketika dia akan memaksa sang adik keluar dari Islam, malah Umar yang kemudian memeluk agama Rasulullah itu karena ketergetaran hatinya saat mendengar Fathimah membaca Al-Qur’an.
Umar kemudian juga mengajak semua keluarga besarnya untuk memeluk Islam, termasuk anaknya, Hafshah.
Oh ya, Hafshah lahir di tahun yang sangat terkenal dalam sejarah Islam, ketika Muhammad menjadi penengah dan memindahkan Hajar Aswad kembali ke tempatnya setelah Ka’bah yang roboh karena banjir berhasil dibangun kembali.
Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”
Uniknya, Hafshah seumuran juga dengan putri bungsu Muhammad dari pernikahannya dengan Khadijah, Fathimah az-Zahra, yang juga lahir di tahun pemindahan Hajar Aswad itu.
Umar sangat senang ketika tahu istrinya, Zainab binti Madh’un, melahirkan. Tapi, dia juga sedih ketika bayi itu berjenis kelamin perempuan. Waktu itu, sebelum Islam, bayi perempuan bukanlah kebanggaan, tetapi beban. Maka, Hafshah pun diasuh dengan pola seperti membesarkan anak lelaki.
Jadi, wajar jika Hafshah mendewasa sebagai pribadi yang kuat dan mandiri sebagaimana Umar. Hafshah juga mahir menulis dan membaca, sesuatu yang tak wajar dikuasai perempuan di era itu.
Perlu kita ketahui, ketika Umar memutuskan memeluk Islam, situasi kota Mekah juga berubah. Maklum, Umar dan keluarganya sosok berpengaruh dan menciutkan kaum Quraisy. Mekah pun perlahan dapat normal, dan menjadi memungkinkan untuk menerima kembali kaum muhajirin yang sebelumnya hijrah ke Habasyah untuk kembali.
Nah, dalam kafilah muhajirin itu, tersebutlah seorang lelaki tampan yang menjadi golongan pertama memeluk Islam, Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda pecinta Rasulullah ini berpindah demi keselamatan diri dan keluarganya, dan kembali karena kecintaanya pada kota Muhammad itu.
Sesampai di Mekah, Khunais pun segera sowan ke Umar. Ketika tengah berbincang dengan Umar itulah, ekor mata Khunais melihat sosok Hafshah yang tengah duduk, dan dadanya pun berdesir. Dia bertanya, siapa wanita yang membuat dirinya merasakan asmara itu.
Ketika tahu bahwa Hafshah adalah putri Umar, Khunais pun menyatakan minatnya untuk mempersunting. Umar tak punya kegembiraan lain kecuali segera merestui dan tak lama kemudian menikahkan kedua remaja pembela Islam itu.
Rumah tangga keduanya pun sakinah, mawadah, warahmah. Sampai kemudian maut memisahkan keduanya.
Suami yang Dipilihkan Ayah
Ketika kota Yatsrif berhasil diduduki dan penduduknya diislamkan, Rasulullah pun berkewajiban menjaga agar akidah umat di kota itu terpelihara. Maka cara terbaik adalah membaurkan penduduk kota itu dengan kaum muslimin yang sudah terjaga keimanannya. Maka, Rasul pun memberi izin kepada sebagaian kaum muslimin untuk hijrah ke Yatsrib untuk tugas itu. Khuinais dan Hafshah termasuk yang ikut dalam gelombang hijrah ini.
Sejarah kemudian mencatat, Rasulullah berhasil menyatukan muslimin di Mekah dan Madinah, dan menjadi pasukan yang kuat. Lalu Allah memberi perintah untuk memerangi mereka yang terus memerangi Islam, kaum musyrikin Quraisy.
Kancah pertama pun lahir, perang Badar. Dan Allah menunjukkan bagaiman keyakinan, juga doa, menjadi energi dan kekuatan yang tak tertahankan. Rasulullah memenangi perang pertama ini dengan gilang gemilang.
kemenangan yang disambut suka cita ini memercikkan juga kesedihan. Banyak juga sahabat yang sahid dan terluka, termasuk Khunais. Dia terluka cukup parah, dan setelah dirawat dengan ketelatenan yang luar biasa, Hafshah harus mengikhlaskannya, Allah memanggilnya untuk menjadi syuhada, syahid di jalan Allah.
Hafshah pun menjanda. Usianya baru 18+. Namun, dia punya keikhlasan yang tebal untuk menerima takdir itu.
Setelah menjanda, Hafshah kembali tinggal bersama Umar. Dan ini menjadi beban baru baginya. Situasi perang, ekonomi yang kacau, membuat situasi rumah tangga Umar pun tak stabil. Kembalinya Hafshah membuatnya galau, dan segera harus menemukan jalan keluar. Menikahkannya lagi adalah solusi.
Maka, Umar mendatangi Abu Bakar, sahabatnya. Bagi Umar, mertua Rasulullah ini adalah sosok yang luar biasa, dan pasti akan menjadi pengayom terbaik untuk Hafshah. Maka, dia pun bercerita tentang kebaikan Hafshah, kezuhudannya, dan berkata akan beruntung lelaki yang nantinya akan menikahi Hafshah, dan akan beruntung bagi keduanya jika Abu Bakar yang menjadi suaminya.
Abu Bakar yang semula tersenyum dan ikut memujikan Hafshah tetiba terdiam. Dan tak juga menjawab lamaran Umar tersebut.
Menunggu, Umar lalu pergi dari rumah Abu Bakar dengan sedikit kecewa. Tak juga dia mendapatkan jawab.
Umar lalu mengadukan nasibnya ke Utsman bin Affan, sahabat terkasih Rasulullah lainnya. Dia juga bercerita betapa Abu Bakar mengecewakannya karena telah menolak lamarannya untuk menikahi Hafshah. Utsman menyabarkan Umar.
Tapi ketika Umar menyatakan niatannya untuk menikahkan Hafshah padanya, Utsman juga terdiam. Dia meminta waktu untuk memikirkannya. Maklum, waktu itu Utsman baru menduda, setelah istrinya, Ruqayah binti Muhammad, meninggal karena sakit.
Beberapa hari kemudian, Utsman memberi jawaban, dia belum siap untuk menikah lagi.
istri Pencemburu dan Jatuhnya Talak
Umar pun kecewa lagi. Dan puncaknya, dia mengadukan nasibnya pada Rasulullah. Nabi Muhammad menyabarkan Umar, dan memintanya untuk tak kecewa. Lalu Nabi pun bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.”
Umar pulang, dan sepanjang jalan dia mengingat sabda Nabi. Dan kemudian, kesedihan hilang dari wajahnya, dan dia tertawa. Umar memahami, ternyata Rasulullah telah meminang Hafshah saat itu. Karena jika ada pribadi yang lebih mulia dari Abu Bakar dan Utsman, hanya Nabi Muhammad sosoknya.
Kabar gembira ini dia ungkapkan pada Abu Bakar. Tapi, sahabat Nabi itu tersenyum, dan berkata bahwa ia telah tahu tentang kemungkinan hal itu, karena telah mendengar Rasulullah menyebutkan nama Hafshah. Sedangkan Utsman, kita tahu kemudian, Nabi kembali menikahkannya dengan Ummu Kultsum, putrinya, sebagai pengganti Ruqayah.
Maka, episode rumah tangga Rasulullah yang penuh cinta, dan sedikit drama, dengan Hafshah pun dimulai.
Hafshah adalah pecinta, dan posesif. Umar mengetahui benar watak anaknya itu. Maka, pesannya kepada Hafsyah adalah untuk selalu patuh kepada Rasulullah, dan menyadari posisinya sebagai istri yang datang kemudian, setelah Saudah dan Aisyah.
Pesan khusus juga dia wantikan, agar Hafshah jangan bersitegang dengan Aisyah. Menurut Umar, Aisyah adalah kesayangan Nabi. Jadi, jika ada yang menyebabkan kemarahan Aisyah, maka Rasulullah pun akan ikut marah dan tidak ridha atas orang itu.
Namun, kita tahu, Hafshah adalah sosok pencemburu, sebagaimana Aisyah juga. Dan itu memang hal yang wajar. Persoalannya, Hafshah menunjukkan kecemburuannya itu dengan kadar yang, bahkan menurut Nabi pun, berlebihan.
Kadang, riak kecil itu diredakan Nabi. istri-istrinya Rasulullah kumpulkan, dinasihati, dan diberi pengertian untuk saling toleran dan berbagi kepercayaan dan kasih sayang. Semua berjalan baik, sampai muncul kisah kecemburuan Hafshah atas istri Rasulullah yang lain, Mariyah al-Qibtiyah.
Pendek cerita, ketika Hafshah berkunjung ke rumah Umar, dan lalu kembali, dia menemukan Mariyah dan Rasulullah di kamarnya. Dia cemburu, dan marah. Rasulullah menyabarkannya, dan meminta Hafshah untuk tidak memperbesar masalah itu.
Namun, Hafshah yang cemburu tinggi, apalagi Mariyah adalah istri Nabi satu-satunya yang memberikan keturunan setelah Khadijah, menceritakan hal itu kepada istri Rasul yang lain, termasuk Aisyah. Sehingga semua protes menyangkut hak untuk bersama Rasulullah.
Nabi Muhammad marah, dan menilai Hafshah sudah tidak mematuhinya hanya karena cemburu yang berlebihan. Dan dalam marah itulah, Rasulullah menjatuhkan talak satu kepada Hafshah.
Jatuhnya talak ini mengagetkan sahabat dan membuat panik Umar. Dia tahu, Hafshah sudah tidak mematuhi nasihatnya. Umar lalu menghadap Rasulullah.
Sejarah mencatat, Rasulullah kemudian rujuk karena tak ingin sahabatnya itu bersedih. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh.
Kecemburuan Hafshah ini tak juga reda. Hafshah bahkan termasuk juga dari istri Rasulullah yang membuat Nabi marah, dan memutuskan untuk tak bersama mereka sebulan penuh, tinggal memisahkan diri di kamar yang terpisah, atau khazanah. Setelah Hafshah meminta maaf, juga istri yang lain, juga atas bujukan Umar, Rasulullah pun kemudian memaafkan para istri tersebut dan berkumpul lagi bersama mereka. Apalagi kemudian turun ayat, yang menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi Rasul tersebut, yakni QS. At-Tahrim:1-5 dan QS. Al-Ahzab.
Penjaga Mushaf Pertama Al-Qur’an
Kecakapan Hafsah dalam menghafal Al Quran diteliti oleh sejarawan, seperti Ruqayya khan dalam jurnalnya berjudul ‘’Did a Woman Edit the Qur’an? Hafsa’s Famed Codex’’. Khan menjelaskan bahwa Hafsah binti Umar kemungkinan menjadi perempuan pertama yang menyimpan ayat-ayat Al Quran dalam bentuk teks tertulis.
Hafsah belajar Al Quran serta cara menulis ayat yang baik dan benar dari Rasulullah SAW. Ia menjadi sosok yang istimewa karena satu-satunya penghafal yang menulis ayat di bawah pengawasan langsung Nabi Muhammad. Maka dari itu, ayahnya, Umar bin Khattab menyebut anaknya sebagai penghafal Al Quran karena ia sendiri pun mencari Hafshah ketika terdapat perbedaan tafsir Al-Qur’an.
Sebagaimana kita tahu, dulu ayat Al-Qur’an dihapalkan di antara para sahabat. Namun, karena perang, terutama di Yamamah, banyak sahabat yang kemudian gugur, dan Abu Bakar juga Umar, mulai cemas jika para penghapal ini makin berkurang. Maka keduanya pun berinisiatif untuk mulai mencatatkan Al-Qur’an di tulang, daun atau pelepah kurma.
Sepeninggal Abu Bakar dan Umar, Hafshah-lah yang meneruskan mengumpulkan dan menjaga catatan ayat-ayat suci itu di rumahnya. Hafshah juga menjadi rujukan saat khalifah Utsman ingin menyusun mushaf dan mengutus Zaid bin Tsabit. Hafshah mengizinkan Zaid untuk membawa mushaf miliknya dengan syarat untuk wajib mengembalikannya setelah usai dicatat ulang dan digandakan. Zaid dan Utsman memenuhi janji tersebut.
Hafshah kemudian hidup zuhud sebagai penghapal Al-Qur’an dan menjaga catatan pertama itu sampai dia meninggal. Sayang, upaya seumur hidup itu gagal setelah kepergiaanya, ketika gubernur Madinah saat itu, Marwan bin Hakam mengambil mushaf pertama Hafshah dan lalu menghancurkannya.
Sepanjang hidupnya, Hafshah merawikan 60 hadis. Empat hadis diantaranya diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim secara bersamaan dan 6 hadis diriwayatkan Muslim. Hadis-hadis riwayatnya yang dimuat di kutub as-sittah sebanyak 26 hadis.
Hafsah binti Umar wafat pada usia 63 tahun pada tahun 41 hijriyah atau 665 M. Ia dimakamkan di Baqi’ sebagaimana istri-istri Rasulullah lainnya.
***tags: #hafshah #alquran #istri #rasulullah saw #nabi muhammad saw
Email: [email protected]
KOMENTAR
BACA JUGA
TERKINI

Klasemen Leg Kedua SEA V League: Indonesia Masih di Puncak
20 Juli 2025

Liverpool Dikabarkan Capai Kesepakatan untuk Rekrut Hugo Ekitike
20 Juli 2025

Habib Ja’far Sebut 'Ngaji Soccer' MAS Dakwah Bil Hikmah Kreatif
20 Juli 2025

Densus 88 Tangkap Warga Terduga Teroris di Tolitoli
20 Juli 2025

Pesantren dan Kurikulum Cinta Dinilai Bisa Jadi Solusi Pembentukan Karakter Anak
20 Juli 2025

Cari berkah di Bulan Sura, Warga Desa Jambu Timur Krayahan Bubur Sura
20 Juli 2025

Heritage Colour Fun Run 2025 di Rest Area Banjaratma Brebes Berlangsung Meriah
20 Juli 2025

Sragen Dinilai Siap Jadi Rujukan Nasional
20 Juli 2025

Kalahkan Pedro Acosta, Marc Marquez Menangi Sprint Race MotoGP Ceko
20 Juli 2025

Pariwisata Olahraga di Jateng Terus Menggeliat, Sumarno: Perekonomian Meningkat
20 Juli 2025