Berpayung air mata | Gimage

Berpayung air mata | Gimage

Kita, Semuram Kemarau Sesegar Hujan

Aku memang sedih jika kamu temani, tapi akan lebih sedih, jika aku kau biarkan sendiri.

Selasa, 18 April 2023 | 09:32 WIB - Surat
Penulis: @elbaralazuardi . Editor: Kuaka

hujan lagi. hujan keempat di minggu ini. dari jendela kantor ini, langit di utara mulai bersih, membias ke selatan. tapi hujan belum memberi tanda akan pamit.

sebatang mangga di kanan halaman itu tampak guyah, sendiri, seperti menggigil. angin baginya mungkin teramat kejam. Berkali-kali ia bergerak, dan selembar daunnya, yang agak kuning, jatuh. melayang di udara, di belokkan angin, berputar arah, mengena tanah, basah, terbang lagi, hilang dari mataku: nuju nasibnya yang lain.

BERITA TERKAIT:
Cegah Terorisme, MUI Ajak Masyarakat Tebar Narasi Positif di Media Sosial
Untuk Kamu yang Dikirimkan Hujan
Kapan Kali Terakhir Kau Menangis?
Menunggu, Siksa Musa di Puncak Tursina
Kau yang Mulai, Kau yang Harus Hentikan Dosa Ini...

seorang gadis -ah, aku kenal dia-- melintas, menggamit roknya, bersijingkat, melewati cekungan-cekungan air, hilang di tikungan, juga mengikuti nasibnya.

di ruangan ini, aku sendiri, tak tahu, akan dibawa nasib ke mana.

setiap kali hujan, bahkan yang paling rintik pun, aku selalu begini: membuka jendela, menggeser tirainya, mempermainkan khayal, melamun. aku tak pernah tahu, kuasa apa yang bisa mencengkram benakku. apa bau tanah basah, tiktok air di genteng, atau tempias yang memburamkan jendela, gelegar atau cahya guruh?

ah, rasanya bukan itu, tapi kamu. ya kamu, Nja: yang selalu datang bersama hujan.

"hujan sepertinya mengirim aku, ya? siapa sangka, dalam basah itu, kita bisa merasa dekat, bercakap, dan aku jadi mengenal kamu, kamu mengenal aku.

"aku sering tertawa bila mengenangnya, Lang. kamu tampak aneh dalam rambut basah seperti itu. tapi aku kau bilang segar, sesegar hujan. aku kaget, masa ada orang sesegar hujan? lalu kamu tertawa, aku juga. lalu kita disergap diam dan menyadari, di tenda itu cuma berdua. Kamu jadi kikuk.

"kamu tahu, Lang: aku selalu suka jika kamu mulai kikuk. matamu yang jadi gugup tak dapat disembunyikan lensamu, suaramu yang mengambang --sepertinya, itu yang kemudian membuat aku suka. Tapi kamu justru tak suka kutatapi dalam kekikukan itu, hahaaa...., uhuk, huk....."

"sttt...., sudahlah, jangan terlalu banyak bicara. Juga jangan membicarakan hal itu, Nja."

"kenapa? Aku suka. Aku selalu suka dengan awal kita di tenda itu."

"iya, iyya. aku juga, sukka. tapi jangan itu sekarang kamu kenang. aku takut jika kamu mulai mengenangi cerita-cerita kita itu, seakan-akan kita tak bisa lagi mengulangnya.

''tahu nggak, aku sudah beli tenda, dan jika kamu sembuh, bisa kita pakai, teman-teman juga sudah menjanjikan akan naik bulan ini. kita masih punya banyak cerita."

"tapi pasti beda. Kamu udah lagi nggak biasa."

"siapa bilang?!"

 

"aku tahu kamu, Lang. mama bilang kemarin kamu nangis, hahaa... entah kenapa, aku justru suka mendengar kamu menangis. Jahat, ya? Aku jadi sungguh-sungguh merasa berharga...."

"sttt... sudahlah, Nja..."

"tuh, mata kamu basah lagi, kan? heran, kok lebih cengengan kamu, ya? kamu harus ikhlas, Lang. sebagaimana hujan mengirimku, dia juga boleh memintaku."

"Nja...."

"janji, kamu nggak boleh nangis lagi. aku ingin ingatanku terakhir tentang kamu, tetap kamu yang kikuk, yang menunduk jika gugup, yang aku suka, yang buat aku jatuh cinta. mama aja kuat, kok, masak kamu nggak?"

"Nja..!"

"kenapa genggamanmu kian kuat? Nasib ini sudah jelas, Lang. kita harus menerima, justru dengan itu kita kuat, kita jadi biasa --ini kata mama, dan itu benar. lihat, papa selalu senyum jika datang, juga mama, mbak ita, mas icas. cuma kamu yang keruh, kayak kemarau.

"Lang, kalau di sana, aku masih memiliki ingatan nggak, ya?

"ih, genggamanmu ini, keras banget. lihat tuh, mama sudah dari tadi di pintu, malu lho..."

"ma...."

"nggak apa-apa, Lang.  mama justru suka melihat Senja mau banyak bicara sama kamu."

"ya, ma..."

huuuuhhh...... bhrgr....... Nja, kamu benar, hujan selalu mengirim kamu melalui rintiknya. di sini, kamu seperti meresap dalam udara yang ambang, yang kuhirup pelan:

Ah, kau yang bersemayam dalam udara
Aku tak tahu energi apa
Yang mengantarku pada penjaramu
Cerita pendek telah kita buat bersama
Dalam perbincangan dalam perdebatan tak tentu arah
Dan sebuah novel yang tak selesai....
Senyummu yang mengambang
Selalu gagal aku terjemahkan
Dan aku harus mampu menikmati kesakitan-kesakitan ini *)

hujan mulai reda, Nja. di sana, batang mangga itu tak mengigil lagi. dia bugar, seperti kamu, yang masih segar dalam ingatanku, sesegar hujan. biarlah, dalam rintik yang penghabisan ini, Nja: aku akan temani kamu, dalam secangkir kopi, segigit roti --kamu mau?-- sendiri, tak berbagi.

jika esok, atau lusa, atau lusanya lagi, Nja: tiap kali hujan, tolong temani aku. karena aku tak kuat, tak pernah kuat, sendiri.

aku memang sedih jika kamu temani, tapi akan lebih sedih, jika aku kau biarkan sendiri.

*) dikutip dari puisi Arwani

***

tags: #narasi #kisah #kisah cinta #motif asmara #kata baik

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI