Kamu yang Dikirimkan Hujan

Kamu yang Dikirimkan Hujan

Untuk Kamu yang Dikirimkan Hujan

Hidup, barangkali, berjalan seperti patahan-patahan dalam teka-teki silang, kita tinggal mengisi di kotak-kotak yang kosong, dalam lajur yang telah disediakan. Satu kata, mengisi dan menjadi penentu kata lain.

Jumat, 05 Mei 2023 | 09:10 WIB - Kisah
Penulis: @elbaralazuardi . Editor: Kuaka

KAKI HUJAN itu, Senja, menghampiri lagi rumah kita, menjarumi gentengnya, dengan rintik yang pernah kita khayalkan akan kita dengar bersama.

“Aku akan menghangatkan tubuhmu, dengan peluk dan cium, segelas kopi hangat, atau cerita tentang Luka, anak kita,” katamu di suatu senja yang basah, yang aku tak ingat lagi tanggalnya.

BERITA TERKAIT:
Ini Kisah Patung Biawak di Wonosobo yang Viral di Medsos
Sedih, Pria ini Bersihkan 270 Makam yang Tidak Terurus Supaya Bisa Punya Alasan Berziarah ke Makam Almh. Ibunya Setiap Hari.
Kisah Kakak Berhati Besar: Merangkul Adik Tiri Tanpa Kebencian
Dulu Teman Sekelas, Kini Jalan Hidup Berbeda
Kisah Arya: 14 Tahun Merawat Ibu dengan Ketulusan, Bukti Kasih Sayang Tanpa Batas

Tapi khayalan memang selalu lebih manis dari apa pun. Di rumah ini, rumah yang kita angankan akan kita tempati bersama, aku terbaring sendiri, menikmati curah hujan yang begitu ritmis, yang menghantarkanku pada kenangan tentangmu.

Rumah ini Nja, kubeli sebulan setelah engkau pergi, kuharapkan, rumah ini akan memanggilmu kembali. Tapi ternyata tidak. Sampai rintik hujan yang kesekian, tak kudengar ketukan di pintu, darimu.

Kau tahu, Nja: kunci itu selalu kuletakkan di bawah pot bunga, di depan rumah kita, seperti yang dulu kamu pinta.

“Nanti kuncinya selalu kita letakkan di bawah pot bunga, ya? Biar jika Langit atau aku yang pulang duluan, kita sudah dapat selalu berada di dalamnya,” pintamu, suatu kali, dengan mata terbakar cinta.

Aku selalu menunggumu, Nja, sendiri, terpenjara di sini, dikuasai kenangan tentangmu.

****

Di senja itu, di beranda kontrakannya, rasanya sudah lama sekali, dengan secangkir kopi dan sepotong donat, juga gerimis, ia memulai membuka peta.

“Aku harus pergi, Lang,” bisiknya. “Ada yang ingin kuyakinkan.”

Aku diam. Kopi ini terlalu berharga jika harus dipotong dengan percakapan yang serius. Kuacak rambutnya, kutarik pundaknya, menyandar di dadaku. “Kenapa? Tidakkah aku cukup bagimu?”

Dia mencium pipiku, lembut, basah aroma kopi. “Aku hanya ingin pergi,” desisnya. “Nggak tahu kenapa?”

“Berapa lama?”

Dia menggeleng. “Aku akan kirim kabar, Whatsapp, atau DM Insta, nanti.”

“Ya, sudah, pergilah.”

“Langit nggak ingin tahu alasanku?”

Aku menggeleng. Dia mencium pipiku, membasahi bibirku. “Jika ada uang, belilah rumah yang kita lihat kemarin ya? Suatu waktu, aku akan berada di dalamnya.”

****

Tapi menunggu, Senja: adalah Hawa yang digoda buah khuldi. Dan kesepian, lebih sunyi dari bangun tengah malam dengan irama titik air yang jatuh dari kran.

Tidakkah engkau pernah melihat gelisah bayi kehausan yang mencari ujung puting ibunya? Kukira aku kuat. Tapi cinta, ternyata tak lebih seperti Adam, yang mengikutkan Hawa, tergelincir, takut ditinggalkan.

 

Aku pun, ternyata, tak selamanya bisa berpegang hanya pada kenangan. Rumah kita ini, Senja: memanggil penghuninya yang lain, suatu sore.

Hujan. Deras. Genteng rumah seperti disirami ribuan pasir. Di langit utara, lidah petir berkali-kali menyambukkan pijar. Dan di ujung jalan itu, di bawah rimbun pohon mangga, aku melihatnya: tubuh yang hanya berlindungkan payung kecil, kaki yang dirapatkan, tak jelas, adakah gigil yang dia tahan. Aku melambainya. Tubuh itu bergerak.

Kesalahan acap datang dari keramahan yang tanpa pamrih. Begitu dia mendekat –rambut panjang basah, kemeja yang mencetak tubuh, dan pucat pada bibir, juga gigil —menerbitkan iba yang aneh. Kuhangatkan dia dengan senyuman, kuayun tangan memintanya masuk.

“Mau handuk?”

Dia menggeleng.

Tapi, kusorongkan juga handuk padanya. Ragu, dia tarik, dan kemudian, terjadilah visualisasi ini: dia mengelap muka, kedua tangannya membuka ketika mengeringkan rambut, menggoyangkan kepala membuang butir air, yang sebagian dinginnya menerpai wajahku. Sensual sekali.

Hidup, barangkali, berjalan seperti patahan-patahan dalam teka-teki silang, kita tinggal mengisi di kotak-kotak yang kosong, dalam lajur yang telah disediakan. Satu kata, mengisi dan menjadi penentu kata lain.

Namanya Maia, sekretaris di sebuah media. Sore itu, dia ingin melihat salah satu rumah yang diklankan, tapi hujan dan angin mengirimkannya padaku.

Jika kemudian Adam dan Hawa dilempar dari surga, siapakah yang patut disalahkan? Bagiku, kesalahan Adam dan Hawa justru terjadi kemudian, ketika mereka melahirkan keturunan: aku, Senja, dan Maia. Dan hidup, ternyata tak sama persis dengan teka-teki silang, yang jika gagal diisi hari ini, minggu esok sudah tersedia jawaban. Tangan yang kusodorkan pada Maia, siapa sangka, adalah tulang rusuk Adam yang mengubah diri jadi Hawa.

****

Kepastian adalah apa yang kita pilih, bukan kita rencanakan. Aku pun memilih merangkai peta lain. Tapi, siapa sangka, peta baru ini begitu memesona, bayi yang tergeragap mengayun langkah pertama.

Senja, perlahan, jadi hanya berupa bayang, baur, berjalan antara kenangan dan penghargaan. Dan cakrawala, ternyata memberi warna yang berbeda tiap sore, atau hati kita kah yang mengubah warna, Maia? Sampai suatu sore…

Aku, Maia, dan gerimis. Secangkir teh, kopi, dan secukupnya pelukan. Lalu sebuah ketukan…

Maia bergerak, aku menahan pundaknya. Aku takut itu Senja. Tapi terlambat, Maia sudah bergerak, meninggalkan aku yang sibuk berdoa. Lalu, di sisi pintu itu, Maia berdiri, menatapku.

Dia seperti bingung. Tak ada siapa-siapa, katanya. Lega. Maia pun masuk lagi ke rangkulanku, menyandarkan pipinya pada hangat punggung tanganku. Lalu ketukan lagi….

Maia beranjak. Aku gelisah. Kususul dia. Di teras, aku melihat Senjayang melihat Maia, rambut basah panjang, kemeja yang mencetak tubuh, dan pucat pada bibir, juga gigil —menerbitkan iba yang aneh.

Seperti pada Maia, kaki hujan itu, telah kembali mengirimkan Senja padaku.

Tapi, kepastian adalah apa yang kita pilih, bukan yang kita rencanakan.

Hidup, seperti kubilang, juga bukan semacam teka-teki silang. Atau, barangkali, aku adalah Adam, yang diletakkan antara Qain dan Qabil.

Ketika Senja, Maia, bersamaan bertanya padaku, sambil saling menunjuk, “siapa?”, aku kehilangan suara, tak punya jawab. Kurasakan sore begitu senyap, dan titik air di kran, entah kenapa, jadi terasa begitu dekat, begitu nyaring.

(..ditulis sebagai kado untuk Senja, jiwa putih yang tak pernah bosan membersihkan jiwaku)

***

tags: #kisah #kisah cinta #narasi #curahati #kata baik

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI