Raden Mas Said dari Solo, Pembebas Cengkraman VOC
Perlawanan seperti itu juga dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa atau lebih dikenal dengan nama Raden Mas Said untuk mengusir VOC.
Selasa, 09 Juli 2024 | 14:51 WIB - Kisah
Penulis:
. Editor: Hani
Sebelum menjadi negara republik, sistem pemerintahan di Indonesia masih bersifat kerajaan. Dalam mengusir penjajah, mereka melakukan perlawanan bersifat kedaerahaan untuk mempertahankan daerahnya masing-masing. Perlawanan seperti itu juga dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa atau lebih dikenal dengan nama Raden Mas Said untuk mengusir VOC.
Ia lahir pada hari Minggu Legi, 7 April 1725 di lingkungan Kraton Kartosura dari pasangan Kanjeng Pangeran Arya (KPA) Mangkunegara, anak dari Sunan Amangkurat III dan Raden Ayu Wulan, seorang perempuan dari Blitar.
BERITA TERKAIT:
Kisah Keberanian dan Kecerdikan Nyimas Utari Melawan Penjajah
Taklukkan Belanda hanya dengan Pasukan Kecil, Ini Taktik Raden Mas Said dalam Berperang
Raden Mas Said dari Solo, Pembebas Cengkraman VOC
Banjir Jakarta Sudah Terjadi Sejak Kerajaan Tarumanegara hingga Kini
Diketahui, seharusnya ayahnya merupakan pewaris tahta kerajaan Mataram, namun akibat secara terang-terangan anti VOC, lalu ia disingkirkan dengan berbagai cara.
Sejak ditinggal oleh kedua orangtuanya, Raden Mas Said tinggal bersama dua adiknya yaitu Raden Mas Ambia dan Raden mas Sabar. Meskipun, ia hidup di lingkungan keraton, tapi ia hidup dalam keadaan melarat. Tidak jarang, ia tidur di kandang kuda karena memang situasi dibuat demikian oleh patih Danurejo yang selalu khawatir, Raden Mas Said akan membalas dendam kepadanya suatu saat nanti.
Ketika usianya menginjak 14 tahun, Pangeran Sambernyawa oleh Paku Buwono II diangkat menjadi Mantri Gandek Anom Kraton Kartosura (jabatan yang setara dengan abdi dalem keraton Mantri) dengan gelar Raden Mas Ngabehi Suryokusumo. Dengan gelar tersebut, ia berhasil mendapatkan tanah lungguh seluas 50 jung. Lalu, pada tahun 1740 saat usianya menginjak 15 tahun, terjadi peristiwa "Geger Pacinan" di Batavia (Jakarta). Peristiwa ini terjadi karena pemerintah VOC membantai orang-orang Tionghoa, tragedi ini dikenal dengan nama "Muara Angke."
Kemudian setelah beranjak dewasa, Raden Mas Said melakukan perjuangan mengusir VOC dari Nusantara selama 16 tahun mulai tahun 1740 hingga 1757. Perjuangan tersebut dibagi menjadi 3 tahapan yaitu:
Tahap pertama: sekitar tahun 1741 – 1742
Perjuangan pertama yang dilakukan Raden Mas Said dalam mengusir VOC yaitu bergabung dengan Sunan Kuning di Randulawang, Saat itu Raden Mas Said berkedudukan sebagai panglima perang yang bergelar Pangeran Prangwedana Pamot Besur, selanjutnya ia memegang jabatan sebagai Pangeran Adipati Mangkunegoro dalam pasukan gabungan antara Pangeran Singasari (Prabu Jaka)dan Adipati Sujanapura di Sukawati. Pusat pertahanan Raden Mas Said di Majarata, Wanasemang.
Keadaan ini tidak dapat bertahan lama, sebab Sunan Kuning dan Kapiten Sepanjang memutuskan untuk bergerak kearah timur (Pasuruan), dengan alasan mereka dapat merekrut orang-orang Cina di kota tersebut, namun Raden Mas Said menginginkan tetap bertempur di bumi Mataram yang medannya sudah ia fahami dengan baik. Akhirnya Sunan Kuning dan Sepanjang menuju ke Pasuruhan, namun malang, ketika sampai di Surabaya, Sunan Kuning atau Amangkurat V ditangkap VOC dan dibuang ke Srilangka.
Tahap Kedua: sekitar tahun 1742 – 1752
Perjuangan kedua yang dilakukan Raden Mas Said yaitu bergabung dengan Kanjeng Pangeran Mangkubumi.Sebelum bergabung, Pangeran Mangkubumi berjuang di daerah pesisir, ia mohon kepada VOC agar dirinya di-Raja-kan, tetapi ditolak oleh VOC. Tahun-tahun ini, sebetulnya banyak kekacauan di kerajaan Mataram, di sisa umur Paku Buwana II, banyak kekacauan di dalam kerajaan. perlawanan Raden Mas Said memuncak, Paku Buwana II berjanji kepada Pangeran Mangkubumi untuk memberikan hadiah daerah Sukowati apabila dia berhasi mengalahkan Raden Mas Said. Ketika Pangeran Mangkubumi berhasil menumpas pemberontakan Raden Mas Said, Patih Pringgoloyo iri hati. Dengan alasan Raden Mas Said belum tertangkap, berarti perlawanannya belum berakhir, sehingga Pangeran Mangkubumi tidak berhak untuk mendapatkan hadiah Sukowati.
Paku Buwana II pun termakan hasutan Patih Pringgoloyo. Dia tidak menepati janji memberikan tanah di Sukowati. Mangkubumi kecewa, dan dia cukup tahu siapa yang berdiri di belakang Paku Buwana II, maka iapun akhirnya keluar dari keraton, dan malah bergabung dengan Raden Mas Said untuk sama-sama berjuang melawan VOC dan Sunan Paku Buwana II. Untuk membujuk Raden Mas Said agar mau bersatu, Pangeran Mangkubumi menikahkan Raden Mas Said dengan salah seorang putrinya, bernama Raden Ayu Inten. Sejak saat itu Raden Mas Said bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara di Kraton Kartasura.
Raden Mas Said berjuang bersama-sama dengan Pangeran Mangkubumi melawan Mataram dan VOC, dengan cara bergerilya didaerah pedalaman. Ketika sedang bergerilya di daerah pedalaman Yogyakarta, Raden Mas Said mendengar khabar, jika Sunan Paku Buwana II wafat. Ia kemudian meminta Pangeran Mangkubumi agar bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Pangeran Adipati Mangkunegara atau Raden Mas Said, diangkat sebagai Patih (perdana menteri) sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro.
Tahap ke 3: sekitar tahun 1752 – 1757
Perjuangan ketiga yang dilakukan Raden Mas Said yaitu berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Paku Buwono III & Hamengku Buwono I, serta pasukan Kompeni (VOC). Beberapa pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757. Raden Mas Said dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai “penyebar maut”. Kehebatan Raden Mas Said dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro.
“Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman,”
*Ditulis oleh wartawan magang Rahardian Haikal Rakhman
tags: #voc #raden mas said
Email: [email protected]
KOMENTAR
BACA JUGA
TERKINI

Setelah Indonesia, Giliran Malaysia Bantai Brunei Darussalam 7-1
19 Juli 2025

Pemain Timnas Indonesia Ivar Jenner Masuk Tim Utama FC Utrecht
19 Juli 2025

Ibu dan Anak Nekat Jadi Kurir Narkoba, Kini Terancam 20 Tahun Penjara
19 Juli 2025

Indonesia vs Filipina: Garuda Muda Menang Tipis 1-0
19 Juli 2025

Jarah Warung Kelontong, Dua Pelaku Tawuran Ini Dibekuk Polisi
19 Juli 2025

Praktik Harmoni Indonesia Layak Ditunjukkan ke Dunia
19 Juli 2025

Bank Jateng-Pemkot Magelang Percepat Penyaluran 20.000 KPR FLPP untuk MBR
19 Juli 2025

Bupati Sragen Resmikan Bangsal Baru dan Layanan HD RSUD Gemolong
19 Juli 2025

Diresmikan Kapolri, 28 SPPG Diharapkan Penuhi 96.000 Penerima Manfaat
18 Juli 2025

Menag dan Gubernur Sultra Bahas Rencana Pendirian Asrama Haji
18 Juli 2025