Kisah Cinta Jenderal Soedirman dan Alfiah, Setia hingga Maut yang Memisahkan

Jendral Soedirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916, tepat di bulan Maulid Nabi dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem di Rembang, Jawa Tengah. 

Rabu, 17 Juli 2024 | 14:46 WIB - Kisah
Penulis: - . Editor: Hani

Membahas mengenai kepahlawanan, tidak melulu harus berbicara mengenai perjuangannya, namun pastinya dibalik itu semua, pasti ada cerita romantis yang tidak kalah menarik. 

Hal ini terjadi pada Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jendral Soedirman dengan Alfiah, istri setianya yang menemani masa perjuangan revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai maut memisahkan mereka berdua. 

BERITA TERKAIT:
Kisah Cinta Jenderal Soedirman dan Alfiah, Setia hingga Maut yang Memisahkan
Cerita Iriana Jokowi ke Cucunya Tentang Kepahlawanan Jenderal Soedirman
MTL Soedirman, Saksi Bisu Lahirnya Pahlawan Kemerdekaan dari Purbalingga

Jendral Soedirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916, tepat di bulan Maulid Nabi dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem di Rembang, Jawa Tengah. 

Setelah lahir, Soedirman diangkat sebagai anak oleh R. Cokrosunaryo, sehingga di depan namanya diberi gelar Raden menjadi Raden Soedirman. Pengambilan anak angkat itu memang sudah lama dirundingkan bersama Karsid dan Siyem. 

Hal itu dilakukan karena R. Cokrosunaryo memang tidak dikaruniai anak.

Ketika usia remaja, Soedirman dikenal sebagai pemuda yang istimewa dan bukan sembarangan. Bahkan saat masa sekolah, ia dikenal sebagai murid yang menonjol. Selain itu, ia selalu menjadi tempat bertanya bagi teman-teman sekolahnya. Bahkan kemudian dikenal sebagai “guru kecil”. 

Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang yang pandai berpidato, pemain sepak bola dan teater yang handal, dan sangat alim. 

Pada saat remaja juga, ia dikenal sebagai pemuda yang populer dan banyak gadis yang tertarik dengannya, bahkan banyak orang tua pula yang ingin menjadikannya menantu. 

Namun, Soedirman memantapkan hatinya kepada seorang kembang desa dari Plasen, Cilacap bernama Alfiah, putri dari R. Sastroatmojo, seorang pedagang muslim sebagai pendamping hidup. 

Kisah cinta mereka berdua terjalin saat menempuh di perguruan Wiworotomo yaitu organisasi intrasekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara dengan sekolah menengah pertama Parama Wiworotomo, Cilacap serta keduanya juga aktif dalam organisasi Pemuda Muhammadiyah Cilacap. 

Saat beranjak Alfiah beranjak dewasa, banyak laki-laki yang terpikat padanya. Tak ingin kalah dari pemuda lainnya, Soedirman mendekati Alfiah dengan berbagai startegi. 

Salah satunya, menjadikan Alfiah sebagai bendahara saat menjadi panitia teater saat dia menjadi ketuanya. Tentunya, ada udang di balik batu. Hal ini dilakukannya agar bisa lebih dekat dengan Afifah. Soedirman juga kerap berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orangtua Alfiah.

Silaturahmi tersebut berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Soedirman memang termasuk dalam kepengurusan Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Orangtua Alfiah adalah pengurus Muhammadiyah. Dari kebiasaan itulah, teman-temannya mulai menyadari jika Soedirman menaruh hati pada Alfiah. Sejak itu, tak ada laki-laki yang berani mendekati Alfiah.

Perjuangan cinta Soedirman tak selalu berjalan mulus pada awalnya. Cintanya kepada Alfiah tak mendapat restu oleh keluarga Alfiahifah. Bukan dari orangtua kembang desa itu, melainkan oleh paman Alfiah bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel. 

Mukmin menginginkan agar keponakannya itu mendapatkan suami dari kalangan orang kaya. Sementara Soedirman hanya anak ajudan wedana yang bergaji kecil. Namun, cinta ibu kepada anak mengalahkan segalanya. 

Ibunda Soedirman kemudian menyiapkan semua ongkos pernikahan agar anaknya tak disepelekan keluarga Alfiah. Perlahan-lahan, sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar oleh Presiden Soekarno.

Cinta Soedirman begitu besar pada Alfiah. Dia selalu menyiapkan baju sang istri. Soedirman ingin agar Alfiah selalu terlihat cantik. Alfiah pun sangat mencintai Soedirman. 

Dia rela merokok demi sang suami yang tengah tergolek di rumah sakit Panti Rapih, Yogyakarta, bisa mencium aroma rokok. 

Saat itu, Soedirman meminta Alfiah merokok dan meniupkan asap rokok ke wajahnya. Sejak peristiwa itu, Alfiah menjadi seorang perokok.

 

Diketahui Soedirman sudah lama menderita tuberkolosis. Namun, saat itu, dia memutuskan untuk bergerilya dengan mengandalkan satu paru-paru. Dia meninggalkan sang istri, bergerilya di Madiun, Jawa Timur, memimpin operasi penumpasan pemberontakan Partai Komunis. Pada akhir September 1948, Soedirman kembali. 

Dia berjalan tertatih-tatih memasuki rumah dinasnya di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Soedirman yang terlihat ringkih mengatakan kepada istrinya, dia tak bisa tidur selama di Madiun. Soedirman rupanya begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah yang terjadi. 

Malam itu, kendati kondisi kesehatannya menurun, Soedirman tetap mandi dengan air dingin. Saran sang istri agar mandi air hangat tak diindahkan. Dan inilah awal petaka bagi Soedirman. Esoknya, sang Jenderal terkapar di tempat tidur.

Lagi-lagi, sifat keras kepalanya membawa petaka. Kendati terbaring sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa dihilangkan. Sesekali, sembari terbaring, dia menghisap rokok kretek. Alfiah tak berani melarang, karena tahu Soedirman memang perokok berat. 

Sejumlah dokter tentara memeriksa kesehatannya. Tim dokter muda mendiagnosis ia menderita tuberkolosis, infeksi paru-paru. Keluarga Soedirman meminta dua dokter senior, Asikin Wijayakusuma dan Sim Ki Ay memeriksa Soedirman kembali. 

Hasilnya tak jauh berbeda, pulmonary tuberculosis. Atas saran Asikin, Soedirman dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Soegiri, bekas ajudan Soedirman, menulis bagaimana saat sang Jenderal dirawat di rumah sakit Katolik itu. Soedirman dirawat di kamar 8 Bangsal Maria, yang berada di bagian depan rumah sakit.

Menurut Soegiri, obat yang dibutuhkan Soedirman hanya ada di Jakarta. Kalaupun sampai di Yogyakarta, obat itu harus melalui jalur penyelundupan. Karena Jakarta saat itu dikuasai tentara sekutu. 

Karena Soedirman butuh penanganan cepat, tim dokter memutuskan melakukan operasi untuk menyelamatkannya dengan cara membuat satu paru-parunya tak berfungsi.

Komplikasinya, kata Soegiri, memang sudah sedemikian rupa, sehingga membuat dokter menempuh cara tersebut. Pasca-operasi, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran pernafasan. 

Sebulan menjalani perawatan di rumah sakit, Soedirman pulang ke rumahnya di Bintaran. Saat di rumah, Soedirman pernah beberapa kali tak bisa menahan hasrat ingin merokok. Perilaku ini, lagi-lagi justru memperburuk kesehatannya. 

Soedirman pernah muntah darah. Pada 17 Desember 1948, keajaiban datang. Soedirman tiba-tiba bisa bangkit dari tempat tidur.

Hari itu, kepada istrinya, Soedirman berkata memiliki firasat Belanda akan melakukan agresi. Dua hari berselang, firasat sang Jenderal terbukti: Belanda membombardir Yogyakarta, yang saat itu Ibu Kota Indonesia. Ia pun memilih mengakhiri cutinya. 

Dengan diusung tandu, Jenderal Besar itu bak tengah berjuang melawan dua musuh. Pada satu sisi, dia melawan Belanda. Dia juga melawan penyakit paru-paru yang tak henti menggerogoti organ pernafasannya itu. Hampir delapan bulan Soedirman keluar masuk hutan memimpin gerilya dari luar Yogyakarta. 

Pernah ia tidak makan selama lima hari. Dengan perut kosong, Soedirman menembus medan yang diguyur hujan lebat. Sesampai di Pacitan, Jawa Timur, ia sakit.

Anak buahnya terpaksa mendatangkan dokter dari Solo. Rika, suster yang merawat Soedirman, kala itu menulis pengalamannya saat bersama tokoh kebanggaan Muhammadiyah ini. Menurut dia, saat itu Soedirman dirawat dengan nama samaran: Abdullah Lelana Putra. 

Pengakuan Rika pada 1985 itu dimuat surat kabar yang naskahnya kini tersimpan di Museum Sasmitaloka. Soedirman memakai nama samaran supaya keberadaannya tidak diketahui Belanda. Beberapa minggu kemudian dia kembali ke rumah.

Seolah-olah mendapat firasat hari kematiannya segera tiba, pada tanggal 18 Januari 1950, Soedirman meminta sejumlah petinggi tentara untuk menemuinya di Badakan. Keesokan harinya, ia memanggil istri dan tujuh anaknya, lalu memberi wejangan kepada mereka. Sesekali, Soedirman juga mengajak mereka bergurau. Saat itu, dia mengatakan ingin hidup seperti Lurah Pakis, kenalannya. 

Lurah itu hidup sampai tua dan bisa meminang cucu. Kemudian pada Senin, 29 Januari 1950, kondisi tubuh Jenderal Soedirman semakin lemah. Semua yang menyaksikan kondisinya sedih, terutama istrinya tercinta, Siti Alfiah berlinang air mata dan meminta suaminya untuk tetap tegar. 

Soedirman menatap istrinya dan meminta perempuan yang dicintainya itu menuntunnya membaca kalimat tauhid. Satu kalimat terucap, Soedirman kemudian mangkat. Soedirman pergi dalam usia muda, 34 tahun dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. 

*Ditulis oleh wartawan magang Rahardian Haikal Rakhman

***

tags: #jenderal soedirman

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI