Mengenal Thomas Kartesen, Arsitek asal Belanda Pecinta Budaya Jawa

Herman Thomas Kartesen memiliki kontribusi besar terhadap arsitektur dan perencanaan perkotaan di Indonesia.

Senin, 09 September 2024 | 09:57 WIB - Kisah
Penulis: - . Editor: Fauzi

BANGSA INDONESIA harus menderita akibat kolonialisme oleh bangsa Belanda selama hampir tiga setengah abad. Meskipun begitu, kesenian dan budaya Jawa tetap hidup di masa kependudukan Hindia Belanda. Tak jarang pula, banyak masyarakat kolonial Belanda yang memilih untuk menetap di Indonesia sampai akhir hayatnya karena cinta dengan kesenian dan budaya Jawa, salah satunya arsitek asal Belanda, Thomas Kartesen.    

Herman Thomas Kartesen lahir di Amsterdam, Belanda pada 22 April 1884. Selama masa hidupnya, ia dikenal sebagai insinyur yang memiliki kontribusi besar terhadap arsitektur dan perencanaan perkotaan di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Thomas Kartesen berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya dahulu merupakan profesor di bidang filosofi dan wakil rektor universitas, sedangkan saudara perempuannya dikenal sebagai wanita pertama di Belanda yang mempelajari kimia. Thomas Karsten berkuliah di Delft Technische Hogeschool ( dahulu Universitas Teknologi Delft) di Belanda. Pada awalnya belajar teknik mesin, sebelum akhirnya beralih ke teknik struktur pasca adanya reformasi institusional terhadap kampusnya. Semasa kuliah, ia bukan mahasiswa pintar, namun ia berhasil lulus dari fakultas yang hanya meluluskan 3-10 orang per tahun hingga tahun 1920. Pilihannya untuk belajar di fakultas bouwkunde di Technische Hogeschool di Delft merupakan bukti tentang kesadaran sosialnya itu. Fakultas yang baru didirikan itu menjadi tempat belajar orang-orang muda yang mempunyai keinginan memperbaiki kondisi sosial masyarakat.

BERITA TERKAIT:
Mengenal Thomas Kartesen, Arsitek asal Belanda Pecinta Budaya Jawa

Setelah lulus kuliah, Karsten bergabung dengan Sociaal Technische Vereeneging, kelompok profesional muda yang progresif. Pada 1904 ia terlibat dalam proyek pembangunan rumah rakyat di Amsterdam, Volkshuisvesting in de Nieuwe Stad te Amsterdam. Pada waktu itu, Amsterdam dikenal sebagai satu-satunya kota industri di Belanda. Di kota itu terdapat kesenjangan sosial, ekonomi, dan etnis yang parah. Di kota ini pula berkumpul para tokoh-tokoh pemikir radikal Belanda yang digagas oleh Walikota Amsterdam berideologi sosialis. Proyek besar ini bertujuan menyediakan perumahan layak di kawasan Amsterdam Selatan. Di sisi lain, di daerah kumuh ini tinggal buruh pendatang dan masyarakat Yahudi miskin. Proyek inilah yang membentuk pandangan-pandangan idealistis dan ideologis Karsten selanjutnya.

pada 1914, Karsten datang ke Semarang berkat undangan Henri Maclaine-Pont temannya semasa kuliah di Delft, Belanda. Diketahui Semarang pada waktu itu merupakan kota yang unik dibandingkan dengan kota lain. Para pejabat di Semarang mempunyai wawasan yang lebih luas. Selain itu, terdapat komunitas Tionghoa yang sangat kaya dan berpengaruh serta kelas menengah pribumi berpendidikan Barat yang aktif. Di sisi lain, terdapat masyarakat Indo dan Jawa kelas bawah yang miskin. Meski menghadapi berbagai persoalan kota, kehidupan intelektual di Semarang ketika itu sangat bergairah. Bahkan surat kabar yang sangat berpengaruh di Hindia Belanda, “De Locomotief”, terbit di Semarang. Memang, pada awal abad 20 Semarang dikenal sebagao tempat subur bagi munculnya gerakan-gerakan progresif dan radikal, seperti halnya Amsterdam yang baru ditinggalkan Karsten. Setelah samapi di Semarang, Karsten menemukan tempat yang sesuai untuk merealisasikan gagasan-gagasannya di bidang perumahan rakyat dan perencanaan kota.


Melalui perencanaan kota ia berupaya untuk menyatukan masyarakat kolonial dengan memberikan kesempatan pada semua penduduk tanpa melihat latarbelakang etnis mereka untuk menikmati lingkungan sosial dan budaya yang sama, sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial masing-masing. Menurutnya dalam masyarakat Indonesia modern bukan faktor etnis tapi faktor sosial-ekonomi yang menjadi penentu. Suatu lingkungan yang terencana akan memungkinkan penduduk hidup bersama membangun suatu masyarakat multi-kultural. Setelah kariernya yang panjang sebagai konsultan untuk berbagai kota di Indonesia ide-ide Karsten mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial di Batavia (Jakarta). Ia diangkat menjadi anggota komisi reformasi perkotaan (Bouwbeperkingscommisie) pada tahun 1930. Pada tahun 1934 lembaga tersebut berubah nama menjadi Stadsvormingscommissie). Tapi meski telah mendapatkan pengakuan pemerintah, usulan pengangkatan Karsten sebagai profesor di Technische Hoogeschool di Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) ditolak. Karsten dianggap terlalu radikal dan terlalu kritis.

Ironisnya justru di kalangan nasionalis radikal Karsten dianggap terlalu kooperatif terhadap pemerintah. Visi Karsten tentang ‘asosiasi’ dan ‘fusi’ sosial, budaya, dan politik tidak mempunyai tempat dalam Indonesia Merdeka yang diperjuangkan kaum nasionalis revolusioner. Sementara menurut Karsten kemerdekaan Indonesia tidak perlu dicapai dengan revolusi, tapi dengan emansipasi rakyat melalui pendidikan.

 

Selain aktif dalam menjalankan profesinya, Kartesen juga tidak lupa mencatat gagasan-gagasannya dalam buku harian meskipun juga dalam keadaan sakit dan menjadi tahanan Jepang di Cimahi ia masih mengisi buku hariannya. Dalam bukunya itu Karsten mencatat pemikiran-pemikiran para filsuf Eropa, perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat, komunisme di Rusia dan fasisme di Eropa. Ia juga menuliskan pandangannya tentang agama-agama dan filsafat Timur.

Selama berkarier di Indonesia, Karsten banyak berhubungan dengan para intelektual Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Pangeran Mangkunegoro VII, penguasa Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Selama lebih dari tiga puluh tahun Karsten mengadakan hubungan surat menyurat dengan Mangkunegoro VII. Di antara Mangkunegoro VII dan Karsten terjalin persahabatan yang didasari rasa saling hormat. Keduanya disatukan oleh kepedulian pada kebudayaan Jawa. Karsten melihat sosok Mangkunegoro VII sebagai model priyayi Jawa modern. Waktu itu, Mangkunegoro VII masih bernama Raden Mas Soerio Soeparto dan tinggal lama di Belanda. Ia belajar bahasa di Universitas Leiden dan bertugas sebagai Haagsche Grenadier (pasukan elit pengawal ratu). Sebagai Mangkunegoro VII ia dan permaisurinya Ratu Timur pada Januari 1937 hadir pada pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard dan menyajikan tari Srimpi Pandelori yang dibawakan anak mereka, Gusti Raden Ajeng Siti Nurul Kusumawardhani di Istana Noordeinde, Den Haag saat perkawinan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard. Penyajian tarian ini memanfaatkan teknologi modern (untuk masa itu) karena diiringi gamelan Kanyut Mesem di Pura Mangkunagaran yang dipancarkan melalui radio oleh Solosche Radio Vereneging (SRV) langsung ke Istana Noordeinde pada Januari 1937. Tarian kraton itu adalah hadiah perkawinan sekaligus secara sangat halus menunjukkan kebanggaan Mangkunegoro VII pada kebudayaan Jawa yang tidak kalah daripada budaya Eropa.

Karsten menikah pada 1921 dengan Soembinah, seorang perempuan pribumi dan dikarunia empat orang anak yakni Regina (1924), Simon (1926), Joris (1928), dan Barta (1929). Hal ini semakin memperkuat ikatan Karsten dengan Indonesia. Pengertian pribumi disini berdasarkan dari sudut pandang hukum kolonial. Diketahui Soembinah merupakan cucu Heinrich Wieland, mantan tentara Swiss yang menetap di Wonosobo dan menikah dengan seorang perempuan Jawa. Dari perkawinan itu lahir sembilan anak, salah satunya Antje yang menikah dengan Mangunredjo, lurah di Dieng. Karena perkawinan itu status Antje berubah menjadi inlander. Dengan sendirinya anak-anak hasil perkawinan antara Mangunredjo dan Antje Wieland, di antaranya Soembinah, juga berstatus pribumi. Pada masa itu sudah jarang laki-laki Belanda totok beristeri perempuan pribumi, meskipun di masa sebelumnya banyak yang mempunyai gundik atau nyai pribumi. Tapi seorangnyai tidak pernah muncul di depan umum. Sebaliknya Soembinah belajar bahasa Belanda dan aktif dalam kegiatan-kegiatan di kalangan perempuan Eropa. Ia menemani Karsten dalam perjalannya ke Eropa pada 1930. Besarnya peran Soembinah dalam kehidupannya diakui Karsten. Karsten dan Soembinah mempunyai empat orang anak, salah satunya Simon yang mengikuti jejak ayahnya menjadi arsitek. Bahasa sehari-hari yang dipakai oleh keluarga Karsten adalah bahasa Belanda dan gaya hidup mereka pada dasarnya gaya hidup Eropa, Namun, di rumah mereka terdapat seperangkat gamelan yang rutin dimainkan. Pada hari-hari penting keluarga Karsten juga mengadakan slametan seperti layaknya keluarga Jawa.

Selain itu, dia juga bergabung dalam Instituut de Java, sebuah perkumpulan yang peduli terhadap budaya Jawa. Karsten mengkritik banyak arsitek Belanda sebelumnya yang lebih berkonsep “menaruh Eropa di Jawa”. Bagi Karsten, Jawa adalah Jawa, bukan Belanda. Karsten menganggap kota sebagai suatu organisme hidup yang terus bertumbuh. Dalam rencana pengembangan kota, Karsten menganggap penting keberadaan taman-taman kota serta ruang terbuka, dua hal yang tampaknya saat ini mulai terabaikan. Akibat filosofi ini muncullah gaya arsitektur ‘Indisch’ yang populer pada masa pra-kemerdekaan sementara secara politis, Karsten merupakan orang pro-kemerdekaan, suatu sikap yang hanya diambil oleh sebagian kecil kalangan keturunan Eropa (Indo) pada masanya. 

Namun sayang hidupnya tidak lama, Ketika Jepang masuk tahun 1942, Karsten ditangkap bersama orang-orang Eropa dan dimasukan kamp interneer tentara Jepang di Baros Cimahi. Dia ditangkap karena dianggap sebagai bagian dari bangsa Eropa – Belanda dan kehilangan hak-hak istimewanya. Perasaan tertekan akibat hilangnya hak istimewa ditambah dengan keadaan serba kekurangan, mulai hilangnya persediaan makanan yang berakibat mati kelaparan.

Tentara Jepang juga melakukan pemisahan antar keluarga, laki-laki, perempuan dan anak-anak dipisahkan sehingga keluarga mereka terpecah dan terpisah. Bagi perempuan dan anak-anak ditahan di Kamp rumah interniran Cihapit sedangkan laki-laki ditahan di kamp daerah Baros. Bisa dibayangkan kehidupan Karsten saat di Kamp yang penuh kekurangan dan terpisah dari keluarganya. Sehingga pada akhirnya dia meninggal pada 21 April 1945 atau satu hari jelang hari ulang tahunnya yang ke 61 tahun. Karsten dimakamkan di kerkoff Leuwigajah Cimahi. Diketahui dalam catatan terakhir Karsten ditulis pada 21 April 1945, hanya sesaat sebelum ia meninggal. Karena sudah terlalu lemah dan tidak mampu menulis, ia meminta bantuan dokternya yang juga sesama tahanan untuk mencatat kata-kata terakhirnya: “Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah ….” 

*Ditulis oleh wartawan magang Rahardian Haikal Rakhman

***

tags: #herman thomas kartesen

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI