Orang Tua Hanya Ingin Mendengar Cerita Anak di Masa Tuanya

*Oleh Ardi Wisanggeni

MALAM sudah larut, badan yang sudah terasa kantuk ini harus tetap terjaga karena ibuku belum sampai rumah. Mungkin ini bukanlah perjalanan jauh pertama untuk ibuku, namun menyambut ibu datang setelah berpergian jauh adalah sebuah ritual yang mengasyikkan.

Setelah keluar masuk rumah untuk sekedar menengok travel yang ditumpagi ibu sudah datang apa belum, tiba-tiba ada pesan masuk dari adikku yang mengabarkan ibu sebentar lagi sampai rumah. Tanpa pikir panjang langsung aku beranjak keluar rumah.

BERITA TERKAIT:
Orang Tua Hanya Ingin Mendengar Cerita Anak di Masa Tuanya
Kisah Li Xueke, Model yang Melahirkan Kembar Tiga dengan Tanam Benih
Cegah Stunting, Perusahaan di Jateng Diminta Pastikan Keamanan Bekerja Bagi Ibu Hamil
Ibu Pembuang Bayi di Terminal Pulo Gebang Diringkus Polisi
Pesan Ibu Brigadir J ke Bharada E: Kamu Harus Berkata Jujur!

Benar, mobil travel yang membawa ibu sampai di depan rumah dan langsung kulihat senyum manis ibu. Sampai dalam rumah kulihat wajah lelah ibu, meski begitu ibu tidak mau beranjak langsung tidur malah sengaja mengajak ngobrol denganku yang juga sudah hampir seminggu tidak ketemu dengannya.

Tak terasa hampir 1,5 jam aku ngobrol banyak dengan ibu terkait dengan aktivitas yang kulakukan selama lima hari di luar kota, ibu terlihat antusias mendengarkan ceritaku dengan sesekali juga beliau mengabarkan kondisi keponakanku yang mulai tumbuh besar.

Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.30, kemudian aku minta ibu untuk tidur karena hari sudah semakin larut. Kami pun beranjak ke kamar masing-masing.

Sudah tiga tahun lebih ibu sendirian, hiburannya hanyalah tawa tangis cucunya dan obrolan-obrolan di waktu luang anak-anaknya. Di masa senjanya, banyak keheningan yang ia temui namun tak pernah sedikitpun aku lihat wajah murung ibu. Wajahnya selalu ceria saat melihat anak dan cucunya.

Semenjak ayah berpulang, ku langsung putuskan tinggal serumah bersama ibu. Dengan begitu ibu tidak merasa kesepian.

Aku jadi teringat pesan menyentuh yang disampaikan Guru Besar Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, ia mengatakan orang tua tidak pernah berharap anaknya mengembalikan uang yang telah dikeluarkannya, untuk membiayai pendidikan buah hatinya.

"Bahagia bagi orang tua itu tidak perlu dikembalikan uangnya yang pernah digunakan untuk membiayai pendidikan, tidak perlu dibelikan mobil ataupun rumah," kata Hikmahanto Juwana.

Ada yang menarik dari apa yang disampaikan Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani itu yakni orang tua akan bahagia saat mereka diajak ngobrol terkait aktivitas harian yang dijalani anak-anaknya.

"Orang tua akan bahagia, kalau ditengah kesibukan adik-adik bisa bertemu dengan orang tua dan menceritakan tentang pekerjaan kalian. Orang tua senang mendengar tentang apa yang adik-adik ceritakan," ungkap Hikmahanto Juwana dengan mata berkaca-kaca.

Pakar Hukum Internasional itu menandaskan apa yang disampaikannya tersebut, tidak hanya berlaku untuk orang-orang yang mendengarkan pidatonya namun juga berlaku untuk dirinya.

"Ini berlaku untuk kita semua, termasuk saya yang sering kali kita sibuk dengan pekerjaan lupa dengan orang tua," sambungnya.

Pesan itu membuatku harus mengatur emosi, mungkin karena selama ini ada satu penyesalan yang terus aku ingat yakni kurangnya waktuku menemani ayah dipenghujung usianya. Sehingga berpulangnya ayah, membuatku tak pernah benar-benar bisa memaafkan diriku sendiri hingga kini.

Yang namanya kehilangan itu, apalagi berpulangnya orang tua adalah kepedihan yang tak terperi. Sehingga saat orang tua kita masih ada luangkanlah waktu untuk berbincang banyak hal, luangkan waktu untuk membahagiakannya. 

Kalau bukan kita anaknya, terus pada siapa lagi orang tua mengusir sepi di masa senjanya.

*Penulis: Ardi Wisanggeni.