Universitas Kelas Dunia, Uang Kuliah Tunggal dan Inovasi

Oleh: Muhammad Nur

Tulisan ini coba menelisik penyebab kenaikan UKT dan mencoba mencari jalan keluar untuk jangka panjang. 

Minggu, 12 Mei 2024 | 11:20 WIB - Persuasi
Penulis: - . Editor: Kuaka

Akhir-akhir ini beberapa di beberapa perguruan tinggi terjadi demo besar-besaran dari mahasiswa karena kenaikan uang kuliah tunggal (UKT). Kenaikan tersebut disinyalir berasal dari keinginan kuat dari pengelola perguruan tinggi untuk berubah status. Status dari PTN BLU menjadi PTN BH. Perguruan tinggi dengan status PTN BH pun juga melakukan kenaikan UKT dan mendapat unjuk rasa dari mahasiswanya. Tulisan ini coba menelisik penyebab kenaikan UKT dan mencoba mencari jalan keluar untuk jangka panjang. 

Universitas Kelas Dunia

Pada tahun 2008 pada pertemuan rembuk nasional pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional RI memberikan Anugerah Anindyaguna untuk 7 PTN yang masuk dalam pemeringkatan perguruan tinggi sedunia versi QS.  Ketujuh perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Gadjah Mada (peringkat 360), Institut Teknologi Bandung (peringkat 369), Universitas Indonesia (peringkat 395), serta Universitas Diponegoro, Unversitas Airlangga, Institut Pertanian Bogor (peringkat 401-500), yang mengawali terpilihnya PT Indonesia dalam ranking dunia.

Sejak  Anugerah Anindyaguna tersebut pemeringkatan internasional mewabah. Banyak perguruan tinggi terdorong untuk memasuki peringkat bergengsi tersebut. Pemerintah juga memberikan insentif khusus untuk tujuan tersebut.

Dengan berjalannya waktu, perguruan tinggi di seluruh dunia mulai menyadari, kreteria yang digunakan oleh lembaga pemeringkat internasional bisa melenceng dari tujuan-tujuan perguruan tinggi di negara masing-masing. Kriteria dari lembaga pemeringkat mulai dipertanyakan, namun demikian pemeringkatan juga tak bisa dilupakan sepenuhnya, karena terlanjur sudah telah mempengaruhi calon mahasiswa dan institusi yang menerima alumni perguruan tinggi.

Kreteria UNESCO vs Kreteria Pemeringkat Internasional

Pada bulan Mei 2011, Unesco melakukan diskusi yang melibatkan peneliti, akademisi, analis kebijakan, mahasiswa, dan pimpinan-pimpinan lembaga internasional, tentang tanggung jawab PT dan pemeringkatan. Tahun ini, Unesco baru saja menerbitkan sebuah buku dengan judul Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses (UNESCO, 2013).

Buku ini lahir karena kekhawatiran Unesco dengan pola dan kretiria rangking yang ada, sehingga dari 16.000 an lebih perguruan tinggi seluruh dunia hanya 100 an saja yang tercatat dalam rangking. UNESCO, kemungkinan mengambil pemeringkat yang sangat ketat seperti Shanghai Jio Tung, atau Times Higher Education (THE). Selebihnya, perguruan tinggi yang lain, bahkan yang lebih banyak mendidik warga dunia tidak tercatat. Ini sangat berbahaya. Lain lagi QS sebagai lembaga pemeringkat dunia, dari 24.000 an perguruan tinggi.

Dalam tulisan ini contoh yang diambil adalah QS, karena lebih relevan dan masih mungkin dicapai oleh perguruan tinggi di Indonesia. Sebagai lembaga pemeringkat internasional QS menekankan pada hasil riset yang dipublikasikan (sekitar 40 % dari penilaian pakar terhadap sebuah PT, dan 20 % tingkat sitasi karya ilmiah sebuah PT oleh pakar dari PT lain). Jadi 60 % tergantung pada kualitas riset. Kriteria yang lain dari QS adalah terdapatnya sejumlah mahasiswa asing (bobot 5 %), dosen asing (bobot 5 %), perbandingan jumlah dosen dengan jumlah mahasiswa (bobot 20 %) serta penilaian dari perusahan/insitusi tempat alumni bekerja (bobot 10 %).

Maraknya pemeringkatan perguruan tinggi, menimbulkan kekhawatiran bahkan dikalangan Unesco. Pemeringkatan telah mendorong beberapa negara untuk fokus pada segelintir elit perguruan tinggi dan dicemaskan dapat merusak prioritas dan kapasitas nasional. Lebih jauh lagi strategi regional dari masyarakat ilmiah bisa saja bergerser karena tuntutan pencapaian kriteria yang didikte oleh lembaga pemeringkat.

Naiknya Uang Kuliah Tunggal

Tuntutan akreditasi dan target-target perguruan tinggi kelas dunia meminta perbaikan infastruktur dan menghasilkan publikasi bereputasi terus menerus dari produk riset. Upaya untuk meningkatkan kualitas, berbagai indikator standar mutu dan akreditasi nasional maupun internasional harus dipenuhi oleh kampus. Selain itu kampus harus memenuhi insentif bagi para dosen dan peneliti, biaya riset dan biaya publikasi. Pihak kampus tak mampu melihat sumber pendanaan yang lebih mudah kecuali  dana masyarakat dari uang kuliah tunggal (UKT) yang dibebankan kepada mahasiswa.

Dengan meningkatnya biaya kebutuhan dan juga upaya pembenahan tersebut, menutut kampus harus menghitung secara cermat  keberlangsungan keuangan dalam jangka panjang. Kampus perlu kreatif dan inovatif dalam mencari sumber-sumber pendanaan lain. Model bisnis perguruan tinggi sangat perlu dimiliki untuk menjamin pendanaan secara jangka panjang. Ketergantungan pada dana masyarakat berupa UKT mahasiswa sangatlah terbatas jika target ingin menjadi perguruan tinggi kelas dunia. Komersialisasi hasil riset perguruan tinggi menjadi sebuah alternatif yang perlu dikaji dengan baik.

Inovasi, hilirisasi dan komersialisasi hasil riset

Menarik untuk dibandingkan adalah tingkat inovasi sesama negara yang termasuk dalam anggota G20. Indonesia berada pada urutan ke 16 dengan GDP sebesar  US$ 1,06 Trilliun.  Jika GDP dikaitkan dengan nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, barulah dia beririsan dengan reputasi akademik. Itupun belum cukup. Reputasi akademik merupakan invensi dan telah dibawa menjadi inovasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jika kita berbicara inovasi global,banyak sumber yang bisa dijadikan rujukan.

Berdasarkan data dari World Intellectual Property Organization (WIPO) yang mempublikasikan Global Innovation Index (GII). Indeks ini  berdasarkan tren inovasi global terbaru dengan melakukan pemeringkatan kinerja ekosistem inovasi ekonomi di seluruh dunia. GII juga  menyoroti kekuatan dan kelemahan inovasi dan kesenjangan tertentu dalam metrik inovasi. Gambaran inovasi global itu disimpulkan berdasarkan indeks dari sekitar 80 indikator. Indikator tersebut termasuk langkah-langkah pada lingkungan politik, pendidikan, infrastruktur, dan penciptaan pengetahuan dari setiap ekonomi (WIPO, 2023)

Urutan Indeks Inovasi Global tahun 2023 bagi anggato G20 (WIPO, 2023) Amerika Serikat (4), China (12), Jepang (13), Jerman (8), Inggris (4), India (40), Perancis (11), Italia (26) Kanada (15), Republik Korea (10), Federasi Rusia (45), Brazil (49), Australia (24), Meksiko (58), Indonesia (61), Turki (39), Arab Saudi (48), Argentina (73), dan Afrika Selatan (59).

Reputasi Akademik, Universitas Riset dan Inovasi

 

Tak dapat disangkal bahwa Reputasi Akademik berapa Negara yang masuk dalam G20 ini memang cukup tinggi. Reputasi tersebut disumbang oleh para saintis yang berada diperguruan tinggi. Reputasi Akdemik tersebut tidak akan bernilai ekonomi yang menjadi perhatian di G20 jika belum mengalir menjadi nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dari suatu Negara. Masalahnya ada disini. Bagaimana membawa Reputasi Akademik, katakanlah dari sebuah universitas Riset menjadi lebih ke hilir dan komersial? Walaupun banyak yang menyadari hasil-hasil penelitian dilakukan di universitas memiliki potensi komersial yang cukup besar.

Namun, mengubah hasil penemuan dan inovasi menjadi produk yang layak secara komersial terbukti sangat sulit. Produk unggul tersebut harus telah melewati tahapan-tahapan untuk komersial. Terdapat tingkat kesiapan teknologi (TKT) yang telah mencapai posisi tertinggi. Juga ada tingkat kesiapan inovasi (Katsinov) yang harus melewati batas minimum yang ditentukan.

Persoalan membawa hasil riset dari laboratorium menjadi produk komersial dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi suatu bangsa telah diteliti antara lain oleh Lee (Yong S. Lee, 1995). Dalam penelitian ini Lee menemukan bahwa para akademisi di AS meyakini bahwa dalam pembangunan ekonomi, peran spesifik yang dapat mereka lakukan adalah inovasi industri. Penelitian ini melakukan survei secara nasional yang melibatkan sekitar 1000 dosen yang intensif melakukan penelitian di Universitas.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa akademisi AS pada tahun 1990-an lebih percaya bahwa kolaborasi universitas-industri memberikan hasil yang lebih baik dalam kontribusi mereka bagi pembangungan ekonomi dibandingkan akademisi pada tahun 1980-an.

Mayoritas responden mendukung gagasan bahwa universitas mereka berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan ekonomi lokal dan regional. Universitas juga diharapkan memfasilitasi komersialisasi hasil riset para akademisi, dan mendorong dosen memberikan konsultasi kepada perusahaan swasta.

Peran Inovasi dalam Pengembangan Ekonomi

Peran inovasi industri dalam pengembangan ekonomi suatu negara yang menghantarkan Paul Romer memenangkan Nobel Ekonomi 2018. Pada tahun 1990, Romer menerbitkan apa yang telah menjadi landasan pemikiran ekonomi. Pemikiran ekonomi yang terkait pada peran penerapan teknologi dan inovasi dalam pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan kemajuan global.

Penelitian Lee juga berhasil mengungkap bahwa mayoritas dari responden menolak untuk mendukung gagasan universitas terlibat langsung dalam kemitraan bisnis yang erat dengan industri swasta. Misalnya universitas memberikan bantuan awal atau investasi ekuitas.

Banyak kalangan juga khawatir kerjasama erat antara universitas-industri, yang kemungkinan akan mengganggu kebebasan akademik. Kebebasan untuk mengejar penelitian fundamental jangka panjang. Para akademisi mencari batas-batas kolaborasi universitas-industri yang dipandang dapat menyeimbangkan antara penelitian implementasi untuk membantu pengembangan ekonomi dan penelitian fundamental untuk reputasi keilmuan.

Diskusi tentang komersialisasi hasil penelitian yang dihasilkan terutama oleh universitas riset terus berkembang. Belitskia, dkk. 2019, mengamati bahwa adanya kekurangan pengetahuan tentang hal ini dialami oleh ilmuwan universitas di seluruh dunia.

Belitskia dkk. mengidentifikasi peran yang dimainkan oleh Technology Transfer Offices (TTO) dan Pendanaan Industri langsung untuk komersialisasi produk riset. Penelitian ini dilakukan di Azerbaijan, Belarusia dan Kazakhstan selama 2015–2017. Secara keseluruhan, invensi memiliki implikasi yang jelas bagi para lulusan perguruan tinggi, technopreneur dan TTO.

Dalam artian kualitas invensi, nilai invensi dan inovasi akan berimplikasi pada kegairahan komersialisasi produk riset. Ketertarikan investor yang bertujuan untuk mengeksploitasi produk riset universitas untuk mengairahkan ekonomi juga ditentukan hal tersebut.

Dinamika sebuah kerangka kerja

Pada tahun 2019, Bazan mengusulkan suatu cara dengan menggabungkan praktik terbaik (best practices) dari kerja tim riset, manajemen proyek penelitian, pengembangan produk baru, pengembangan bisnis, dan manajemen kekayaan intelektual yang sudah mapan. Penggabungan semua praktik terbaik tersebut akan menghasilkan suatu kerangka kerja yang kuat dan terstruktur (mungkin sejenis Technology Transfer Offices (TTO)) . Krangka kerja inilah yang dapat membantu peneliti universitas membawa hasil-hasil riset mereka ke pasar.

Menurut laporan Bazan, kerangka kerja ini juga relevan dengan peneliti universitas yang mungkin tidak berniat untuk mengubah inovasi mereka menjadi bisnis. Para peneliti yang ingin inovasi mereka hanya sampai pada prototipe yang memberikan daya tari khusus bagi pihak industri. Pihak industrilah yang melanjutkan mengembangkan prototype itu menjadi inovasi yang layak komersial dan dibutuhkan pasar (Carlos Bazan, 2019).

Penguatan Universitas Riset dan Teaching Industry

Usulan Bazan untuk menggabungkan praktik terbaik (best practices) dari kerja tim riset, manajemen proyek penelitian, pengembangan produk baru, pengembangan bisnis, dan manajemen kekayaan intelektual yang sudah mapan dalam suatu kerangka kerja mamanglah usulan yang sangat ideal. Praktik terbaik yang mapan tak mudah mambangunnya.

Apalagi menggabungkan semua komponen tersebut dengan keharmonisan tinggi. Dalam kondisi yang belum ideal ini mungkin skema Teaching Industry bisa menjadi alternatif, sambil memperbaiki terus komponen yang disyaratkan Bazan. Bagaimana pengelolaan Riset di Indonesia? Nampaknya kita harus menunggu kesetimbangan baru dengan adanya BRIN dan yang dikelola oleh Kemendikbudritek.

Banyak langkah yang perlu ditunggu kehandalannya. Perguruan tinggi diharapkan mempu menangkap peluang membawa hasil riset mereka ke pasar.   Keberhasilan membawa hasil-hasil riset menjadi produk komersial dari sebuah perguruan tinggi  memberikan peluang penghasilan tak terbatas bagi perguruan tinggi. Semoga.

*Muhammad Nur,   Peneliti dari Center for Plasma Research, Universitas Diponegoro

***

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI