Pendidikan Tinggi adalah Tertiary Education jadi Tak Wajib Merupakan Ungkapan Sesat Pikir
Oleh: Muhammad Nur
Kebutuhan akan pendidikan tinggi adalah kebutuhan kita semua, kebutuhan negara dan bangsa, kebutuhan rakyat Indonesia, tak ada urusan dengan wajib belajar versi pemerintah
Minggu, 19 Mei 2024 | 12:37 WIB - Persuasi
Penulis:
. Editor: Kuaka
Sangat tepat jika kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menetapkan standar satuan biaya operasional perguruan tinggi negeri (SSBOPTN) melalui Permendikbudristek no 2 thn 2024. Dalam permen itu dijelaskan aturan aturan yang menyangkut Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dalam permen juga tertera jelas UKT golongan 1 sebear Rp. 500.000,00/semester dan UKT golongan 2 Rp.1.000.000,00/semester. Kewenangan dari perguruan tinggi negeri juga diatur dalam permen tersebut. Mengapa UKT dari beberapa perguruan tinggi bisa naik berlipat-lipat? Kenaikan yang tak terduga oleh para peserta didik mendorong gerakan menolak.
Gelombang perotes di kampus-kampus terkait juga terjadi. Yang membuat banyak pihak kaget adalah jawaban dari Sesditjen Perguruan Tinggi Kemendikbudristek, menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier dan merupakan pendidikan pilihan (tidak wajib).
Logical Fallacy ( Kesalahan Logis/ Sesat Pikir)
Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi. Itu pilihan, dan UKT adalah kewajiban. Dirjen Dikti sebaiknya tidak mengarahkan jawaban wajib belajar 12 tahun. Jadi pendidikan diperguruan tinggi tidak wajib.
Apalagi menyebut biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu. Jawaban sesditjen kehilangan hakikat pendidikan tinggi bagi sebuah bangsa. Walau tak masuk menurut versi wajib belajar pemerintah, sesungguhnya pendidikan tinggi adalah kewajiban dari sebuah bangsa.
Sejak jaman Yunani 400 tahun sebelum Masehi Socrates mendidik Plato di taman Hakademikus adalah pendidikan tinggi. Selanjutnya pendidikan bagi orang-orang dewasa tersebut diteruskan oleh Plato dan murid-muridnya dalam Akademi Plato di taman Hakademikus.
Kata akademika berasal dari nama taman tersebut. Tak dapat disangkal pendidikan di perguruan tinggi sangat kita butuhkan bersama. Sulit dibayangkan jika masa lalu biaya kuliah di PTN sudah mahal dan tak mampu dicapai oleh orang kebanyakan, hari ini kita tidak akan melihat kemajuan yang cukup berarti dari bangsa Indonesia.
Berdasarkan data dari survey angkatan kerja nasional (Sakernas) pada tahun 2021, penduduk Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikan di level S1 sampai S3 berjumlah 17,06 juta atau 8,31 persen dari total penduduk berusia 15 tahun ke atas.
Data yang lain lagi adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) merupakan perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).
Data APK Indonesia untuk 2020 berada pada urutan ke 4 sebesar 36,31 % diatas Filipina (35,52%). Urutan 1, 2 dan 3 adalah masing masing Singapura (91,09 %), Thailand (49,29 %) dan Malaysia (43%).
Melihat data ini dan jumlah penduduk kita yang sangat besar, tugas kemendikbudristek tidak main-main soal ini. Jadi ungkapan seolah lari dari tanggung jawab adalah ungkapan yang mematahkan semangat.
Ungkapan tersebut merupakan cerminan gagal paham tentang peran penting pendidikan tinggi. Mungkin tepatnya kesimpulan diambil merupakan kesimpulan tergesa-gesa dengan kesalahan logis (Logical Fallacy).
Kembali ke Permen no.2 tahun 2024
Protes tentang UKT sebaiknya patokan yang diambil adalah permen no 2 tahun 2024 tersebut. UKT yang naik tanpa perhitungan yang matang dan meresahkan mahasiswa sebaiknya ditinjau ulang. Rakyat berhak mendapatkan pendidikan terbaik dari fasilitas yang dimiliki perguruan tinggi negeri.
Negara harus ambil bagian yang paling utama dalam pendidikan tinggi. Bangsa Indonesia sangat beruntung, bergitu banyak perguruan tinggi yang dikelola oleh masyarakat. Perguruan tinggi dikelola masyarakat banyak yang kreatif.
Dana dikumpulkan dengan berbagai usaha alternatif selain UKT. Usaha kreatif mereka beragam, mulai dari restoran, asrama, rumahsakit, biro perjalanan, koperasi, dan inkubator bisnis di kawasan industri yang pada akhirnya akan melahirkan pengusaha-pengusaha berkualitas.
Sedikit kita bergeser menilik perguruan tinggi yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan yang awalnya adalah pendidikan pesantren. Lembaga pendidikan ini sungguh membuat decak kagum. Pendidikan sangat murah dengan alumni yang sangat berkarakter.
Para mahasiswa disana tak akan pernah berteriak soal UKT. Jika mahasiswa PTN berteriak soal UKT, sebaiknya para pengambil keputusan melihat ulang, mungkin ada yang salah dan belum harmonis dengan koridor yang telah ditentukan.
Pada akhir tulisan ini saya ingin menguatkan dengan kalimat panjang, bahwa kebutuhan akan pendidikan tinggi adalah kebutuhan kita semua, kebutuhan negara dan bangsa, kebutuhan rakyat Indonesia, tak ada urusan dengan wajib belajar versi pemerintah. Wallahu A’lam Bissawab. Semarang, 19 Mei 2024.
Muhammad Nur, seorang fisikawan, pengembang sains dan teknologi plasma di Indonesia
***Email: [email protected]
KOMENTAR
BACA JUGA
TERKINI

Polisi Tangkap Pelaku Curamor yang Lukai Warga di Jakut
15 Mei 2025

Gubernur Jateng Percepat Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni
15 Mei 2025

Kemenag Siapkan 140 Petugas untuk Badal Haji
15 Mei 2025

Sebanyak 100 Slop Rokok Milik Jemaah Haji Indonesia Disita di Saudi
15 Mei 2025

Ibu di Tengaran Tega Bunuh Bayi Hasil Hubungan Gelap, Dibekap hingga Tewas
15 Mei 2025

Bima Perkasa Sukses Lakukan Revans Terhadap Satya Wacana
15 Mei 2025