"Halabala: Mimpi Buruk Organik dari Kedalaman Hutan"

Walau tak sepekat The Nun atau The Medium dalam atmosfer mencekam, Halabala menawarkan estetika yang aneh dan tak biasa, bahkan cenderung jenaka.

Jumat, 30 Mei 2025 | 22:06 WIB - Layar
Penulis: Ardiansyah . Editor: Wis

KUASAKATACOM, KUDUS- Film Halabala karya Eakasit kembali menegaskan gaya khasnya—alur yang terkesan menyimpang namun tetap terkendali, menghadirkan cerita yang berkembang secara perlahan seperti lembaran komik. Karakter-karakter diperkenalkan secara bertahap, saling terkait dalam narasi yang linier tetapi mengaburkan waktu, menciptakan disorientasi yang disengaja bagi tokoh utama dan penonton. Ini bukan horor biasa; ini adalah thriller psikologis yang cerdas, memuaskan sebagian besar pertanyaan yang ditanamkan sambil meninggalkan detail samar bagi mereka yang mencermati.

Yang membuat Halabala menonjol adalah keberaniannya untuk meninggalkan pola horor supranatural yang sudah usang. Alih-alih mengandalkan hantu dan teriakan mengejutkan, film ini memilih pendekatan horor biologis yang lebih menjijikkan, lambat, dan menyerang dari dalam. Elemen kejutan tetap ada, namun dieksekusi dengan mulus dan organik, tanpa menjadikannya trik murahan. Walau tak sepekat The Nun atau The Medium dalam atmosfer mencekam, Halabala menawarkan estetika yang aneh dan tak biasa, bahkan cenderung jenaka.

BERITA TERKAIT:
Timnas Putri Indonesia U-19 Tumbang 1-6 dari Thailand
"Halabala: Mimpi Buruk Organik dari Kedalaman Hutan"
Thailand Wajibkan Bank dan Penyedia E-Money Bertanggung Jawab atas Kejahatan Siber
Film Horor Thriller Thailand Panor Tayang di Bioskop Indonesia Mulai April 2025, Ini Sinopsisnya
Hal yang Perlu Diketahui Tentang Gempa di Myanmar

Meski dari segi visual dan narasi Halabala tampil solid, aspek musik justru menjadi titik lemah. Soundtrack-nya terasa terlalu beragam dan tidak selaras—dari musik klasik, synth elektronik, hingga rock berat. Pergantian gaya yang ekstrem mengganggu imersi, bahkan merusak ketegangan di beberapa adegan penting. Kurangnya harmoni dalam musik membuatnya gagal meninggalkan kesan.

 

Kesalahan lain muncul dalam terjemahan subtitle. Bagi penonton Thailand, pemilihan kata dalam teks terjemahan sering terasa canggung dan tidak menangkap nuansa emosional dari dialog asli. Ini bisa membuat penonton internasional kehilangan lapisan makna karakter dan hubungan mereka.

Ceritanya mengikuti Inspektur Dan, polisi yang dikenai misi terakhir untuk memburu seorang buronan ke dalam hutan terlarang bernama Halabala. Di balik misi itu, muncul legenda mengerikan tentang suku pemakan daging, Batow. Dan harus bertarung bukan hanya demi tugas, tapi juga demi keselamatan istrinya yang tengah hamil dan kini tinggal bersamanya di hutan yang dipenuhi bahaya tak kasatmata.

Dengan akting penuh dedikasi dari para pemeran seperti Chantavit Dhanasevi dan Abigail Cowen, Halabala berhasil menjadi horor psikologis yang segar, menyajikan kengerian yang lebih terasa di pikiran daripada di mata. Sayangnya, keputusan kreatif dalam musik dan subtitle sedikit mencoreng potensi besar film ini.

***

tags: #thailand #review film

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI