REVIEW "The Dark House": Liburan Berujung Teror dalam Rumah Tua di Lereng Gunung Slamet

Film ini disutradarai oleh Hans Wanaghi, diangkat dari urban legend Sukma-Ayu tahun 1958, dan diproduksi oleh Infinix Pictures serta Citrus Sinema.

Jumat, 20 Juni 2025 | 18:00 WIB - Layar
Penulis: Wisanggeni . Editor: Wis

KUASAKATACOM, DEPOK- Niat awalnya cuma ingin mencari ketenangan di sebuah rumah tua di kaki gunung. Tapi, liburan yang seharusnya jadi momen healing malah berubah jadi pengalaman penuh teror. Itulah gambaran awal film The Dark House yang mulai tayang 12 Juni 2025.

Film ini disutradarai oleh Hans Wanaghi, diangkat dari urban legend Sukma-Ayu tahun 1958, dan diproduksi oleh Infinix Pictures serta Citrus Sinema. Dengan pendekatan berbeda, film ini menawarkan horor yang lebih dalam—bukan sekadar menakutkan, tapi juga menyentuh isu identitas dan budaya.

BERITA TERKAIT:
REVIEW "The Dark House": Liburan Berujung Teror dalam Rumah Tua di Lereng Gunung Slamet

5 Alasan Kenapa The Dark House Bukan horor Biasa:

1. Rumah Tua yang Jadi Sosok Menyeramkan

Rumah di Baturaden bukan cuma lokasi, tapi seolah menjadi tokoh utama dalam cerita. Detail seperti kayu yang berderit, lorong sempit, dan bayangan samar menciptakan suasana menyeramkan yang natural. Hans Wanaghi sukses membangun atmosfer horor tanpa perlu banyak efek visual.

2. horor Psikologis yang Menyentuh Akal dan Emosi

 

Alih-alih menakut-nakuti lewat suara keras atau sosok hantu dadakan, The Dark House membangun ketegangan lewat kondisi mental tokoh utamanya, Arya. Penonton akan terus diajak bertanya: apakah yang terjadi sungguh-sungguh atau hanya halusinasi akibat psikosis?

3. Charlie Charlie: Permainan Iseng yang Buka Portal

Ritual modern "Charlie Charlie" yang dimainkan para karakter menjadi pemicu munculnya kekacauan. Hal ini menjadi kritik simbolik terhadap kebiasaan generasi muda yang lebih mengenal budaya luar, seperti ritual horor asing, dibandingkan tradisi lokal seperti jelangkung.

4. Ada Pertarungan Budaya dalam Cerita

Di balik nuansa seram, film ini menyisipkan isu penting soal identitas budaya. Ia mengajak penonton muda bertanya: seberapa kenalkah kita dengan tradisi kita sendiri? Konflik budaya global vs lokal jadi lapisan makna lain di balik kisah seramnya.

5. Akting Kuat yang Menghidupkan Cerita

Para aktor membawa emosi yang meyakinkan. Arya tampil intens dalam konflik batin yang kompleks, dan Dewi menggambarkan sosok istri yang rapuh tapi kuat menghadapi kenyataan. Akting mereka menjadi tulang punggung kuat dari kisah yang penuh tekanan psikologis ini.


The Dark House bukan sekadar film horor, tapi pengalaman sinematik yang membawa penonton menyusuri gelapnya gangguan jiwa, mitos lokal, dan pertanyaan tentang akar budaya. Bila kamu bosan dengan horor instan penuh efek kejutan, film ini bisa jadi penyegar.

***

tags: #the dark house #review film #horor

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI