“28 Years Later”: Ketika Kematian Tak Lagi Menakutkan dan Zombie Menjadi Cermin Emosi Manusia

Spike membawa ibunya menuju Kelson. Di tengah kuil tulang-belulang, ditemani musik mengawang, ia mendapati pemahaman baru: bahwa kematian bukan akhir, tetapi bagian dari kehidupan yang layak dirayakan.

Jumat, 20 Juni 2025 | 21:55 WIB - Layar
Penulis: Ardiansyah . Editor: Wis

KUASAKATACOM, DEMAK- Ada sesuatu yang tak lazim dalam 28 Years Later. Film ini bukan sekadar lanjutan dari waralaba horor-virus legendaris milik Danny Boyle. Ia adalah meditasi puitis tentang kematian, kemarahan, dan bagaimana manusia memaknai kedewasaan — disampaikan lewat tubuh genre zombie yang biasanya identik dengan kekacauan dan darah.

Alih-alih menjadikan para zombie sebagai simbol kehancuran mutlak, film ini memutarbalikkan persepsi itu. Kematian di sini bukan kutukan, melainkan konsekuensi hidup. Bukan para mayat hidup yang memicu bencana, tapi justru manusia hidup dan emosi negatif mereka — prasangka, amarah, ketakutan.

BERITA TERKAIT:
“28 Years Later”: Ketika Kematian Tak Lagi Menakutkan dan Zombie Menjadi Cermin Emosi Manusia
Ulasan Chori 2, Tayang di Prime Video
Sah! Katanya... (2025): Ketika Komedi Menikahi Tradisi, dan Logika Diusir dari Rumah Duka
Review "Sikandar" Film Salman Khan, Aksi Megah yang Kurang Greget
Review Film Anak Kunti Yang Rilis di 7 Negara

Kisah difokuskan pada Spike, bocah 12 tahun yang tinggal bersama komunitas penyintas di Pulau Lindisfarne — tanah sunyi yang terpisah dari daratan Britania yang dikarantina. Bersama ayahnya, Jamie, Spike memulai perjalanan ke daratan utama untuk berburu zombie sebagai ritual kedewasaan.

Namun, apa yang mereka temui bukan sekadar ancaman fisik. Mereka disambut oleh zombie-zombie yang berevolusi: melata, membalas dendam, hingga monster Alpha yang mewujudkan amarah dalam bentuk paling primitif. Satu adegan bahkan menampilkan seorang zombie betina menyerang setelah pasangannya dibunuh — tak ada kata-kata, tapi seperti ada duka di balik teriakannya.

Boyle menyisipkan arsip film Perang Dunia II, mengaitkan bagaimana sejarah telah memaksa anak-anak tumbuh lewat kekerasan. Sama seperti Spike. Tapi, alih-alih menjadi dewasa lewat darah, ia justru dibentuk oleh rasa sayang.

 

Virus dalam semesta ini disebut sebagai "virus amarah", dan Garland mengeksplorasi maknanya lebih jauh: bahwa amarah, bukan infeksi biologis, adalah akar dari kemunduran manusia. Di era polarisasi, ujaran kebencian, dan ketidakpercayaan, film ini menyeret genre horor ke wilayah renungan sosial.

Jamie, sang ayah, digambarkan menyimpan prasangka terhadap Kelson, seorang dokter yang mungkin bisa menyembuhkan istrinya, Isla. Tapi rasa curiga menghalanginya meminta tolong. Di sinilah emosi negatif menjadi racun, jauh lebih mematikan daripada zombie yang menggeram di luar pagar.

Dalam paruh kedua, film ini berubah. Spike membawa ibunya menuju Kelson. Di tengah kuil tulang-belulang, ditemani musik mengawang, ia mendapati pemahaman baru: bahwa kematian bukan akhir, tetapi bagian dari kehidupan yang layak dirayakan.

Bukan karena film ini berhenti jadi horor, tetapi karena ia menolak menjadikan kematian sebagai momok. Sebaliknya, ia mengajukan pandangan: lebih penting mengenang cinta yang pernah tumbuh, daripada larut dalam ratapan akan kehilangan.

Tak hanya substansial, film ini juga sangat bergaya. Musik gitar beresonansi dalam adegan aksi, sinematografi Anthony Dod Mantle menangkap horor dengan syair visual. Teknik “poor man’s bullet time” memakai 20 iPhone membuktikan bahwa ketegangan bisa dipersembahkan tanpa kehilangan keindahan.

Tapi keindahan sejati 28 Years Later bukan pada efeknya, melainkan pada caranya menyentuh: di antara darah dan panah, ada kasih yang membentuk manusia.

***

tags: #review #28 years later

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI