Mengenal Kawin Tangkap: Tradisi Masyarakat Sumba Barat Daya yang Kontroversial

Seiring perkembangan zaman, praktik kawin tangkap yang dijalankan tidak sesuai dengan prosedur awal yang sesuai dengan tradisi.

Sabtu, 09 September 2023 | 13:51 WIB - Langkah
Penulis: Siti Muyassaroh . Editor: Wis

tradisi Kawin Tangkap yang terjadi di Sumba Barat Daya, Nusat Tenggara Timur (NTT) kini tengah menjadi perbincangan. Hal ini bermula dari sebuah video viral di mana seorang wanita tiba-tiba diangkat dan dibawa kabur menggunakan mobil pikap.

Lantas, bagaimana sebenarnya tradisi Kawin Tangkap itu? Apakah serupa dengan kawin paksa? Berikut penjelasannya dilansir dari Lawa Jurnal Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Indonesia oleh Dian Kemala Dewi.

BERITA TERKAIT:
Mengenal Kawin Tangkap: Tradisi Masyarakat Sumba Barat Daya yang Kontroversial
Polisi Tangkap 5 Pelaku Penculikan Berkedok Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya
Soal Insiden 'Kawin Tangkap' di Sumba Barat Daya yang Viral, Begini Penjelasan Polisi
Gempa Magnitudo 5,0 Guncang Sumba Barat Daya, Tak Berpotensi Tsunami

Kawin Tangkap atau Piti Rambang merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat pedalaman Sumba, yaitu di Kodi dan Wawewa. Kawin Tangkap dianggap sebagai tradisi dari nenek moyang mereka secara turun-temurun sampai hari ini.

Dalam tradisi lama masyarakat Sumba, tradisi Kawin Tangkap tidak serta merta bisa dilakukan. Kawin Tangkap biasanya dilakukan oleh keluarga mempelai pria yang terhalang belis atau mahar tinggi dari pihak perempuan. 

Dalam pelaksanaannya, seorang perempuan yang akan melakukan tradisi Kawin Tangkap sudah didandani. Demikian pula calon mempelai pria yang juga sudah didandani dengan pakaian adat dan menunggangi seekor kuda.

Perempuan itu lantas ditangkap dan dibawa ke rumah keluarga pria. tradisi ini termasuk unik, sebab menyangkut nama baik kedua keluarga, apalagi dengan latar keluarga berada.

Setelah ditangkap, pihak laki-laki akan membawa sebuah parang dan seekor kuda kepada pihak perempuan sebagai tanda permohonan maaf dan tanda bahwa perempuan sudah ada di rumah pihak laki-laki.

 

Jika adat ini sudah berjalan, tidak ada lagi persoalan diantara dua keluarga dan perempuan diperlakukan dengan terhormat sesuai tradisi Sumba. Jadi tidak ada paksaan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan

Seiring perkembangan zaman, praktik Kawin Tangkap yang dijalankan tidak sesuai dengan prosedur awal yang sesuai dengan tradisi. Belakangan, tradisi ini melenceng dan merugikan perempuan secara pribadi. 

Kawin Tangkap yang terjadi akhir-akhir ini seakan membuat perempuan merasa seperti diculik, disiksa, dilecehkan, bahkan merasa hina dan tak berharga.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam Kawin Tangkap termasuk faktor ekonomi dalam hal terkait utang, faktor strata sosial, pendidikan, dan kepercayaan. Perempuan dalam hal ini dijadikan tebusan bagi utang keluarga.

Salah satu faktor yang menjadi motif Kawin Tangkap adalah untuk membina kekerabatan antar-keluarga kedua mempelai supaya relasi tetap terjalin dan harta kekayaan yang diberikan sebagai belis tidak diberikan kepada orang lain.

Namun, fakta yang sering terjadi menunjukkan bahwa Kawin Tangkap semata-mata karena keinginan sepihak laki-laki tanpa ada persetujuan dari pihak keluarga perempuan.

Kawin Tangkap tersebut melanggar hukum yang berlaku sebagai kasus penculikan dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 328 KUHP dengan pidana paling lama dua belas tahun.

Peristiwa ini juga tidak sesuai dengan syarat perkawinan UU RI No 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 di mana perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Saat ini pemerintah berupaya mengakhiri praktik ini dan melindungi hak-hak perempuan. Namun pada kenyataannya, tradisi ini masih saja dilakukan dengan kedok adat istiadat dan tradisi budaya.
 

***

tags: #sumba barat daya #tradisi #kawin tangkap #kontroversial

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI