Tangkapan layar berita MBC News terkait perbudakan ABK WNI

Tangkapan layar berita MBC News terkait perbudakan ABK WNI

ABK WNI Diduga Diperbudak dan Didiskriminasi di Kapal China

Diperbudak itu karena bekerja selama 30 jam menangkap ikan dengan posisi berdiri serta hanya menerima gaji Rp 1,8 Juta. Didiskriminasi karena ada perbedaan air minum yang diminum ABK China dan ABK WNI

Kamis, 07 Mei 2020 | 09:27 WIB - Internasional
Penulis: Wisanggeni . Editor: Wis

KUASAKATACOM, Seoul - Pekerja migran Indonesia yang bekerja di Kapal nelayan China ditayangkan secara eksklusif oleh Media Korea Selatan, MBC, Selasa (5/5/2020).

Namun yang dikabarkan oleh media Korea Selatan tersebut menunjukkan penderitaan mereka saat bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) ikan China. Dalam video itu terlihat mereka bekerja layaknya budak dan tanpa asuransi kesehatan.

BERITA TERKAIT:
SAR Cilacap Evakuasi Lima ABK KM Alviano yang Terjebak di Samudra Hindia
Viral ABK Minta Tolong Diselamatkan, Jawaban 'Komandan' Jadi Sorotan: Cuaca Tidak Memungkinkan
ABK KM Cengkeh Tewas Tertimpa Crane Saat Awasi Muatan Semen Jumbo 
Kapal Nelayan Asal Cilacap Terbakar di Samudra Hindia, 2 ABK Selamat dan 11 Lainnya Masih Dicari
Hilang di Perairan Cilacap, Satu ABK Kapal Compreng Belum Ditemukan

"[Eksklusif] '18 jam sehari kerja...sakit dan terengah-tengah, buang ke laut'," bunyi judul pemberitaan media Korea Selatan tersebut.

Media tersebut melaporkan adanya kematian serta pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan terhadap para ABK Indonesia di kapal nelayan China. Laporan itu diterbitkan karena permintaan bantuan dari ABK yang diajukan ke pemerintah Korea Selatan dan MBC ketika kapal memasuki Pelabuhan Busan.

Awalnya, sulit untuk melihat gambar dan bukti yang diberikan oleh para ABK Indonesia secara visual. Bahkan saat MBC ingin mengetahui lebih detil yang sebenarnya terjadi, kapal itu sudah terlanjur berlayar ke laut lepas.

Media itu pun menyerukan investigasi dan koordinasi internasional untuk mengungkap apa yang dilaporkan sebagai kematian dan pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

MBC mengungkapkan laporan tersebut dimulai dari kejadian pada 30 Maret di Samudra Pasifik. Sebuah video memperlihatkan sebuah peti mati yang dibungkus kain merah terlihat ditempatkan di geladak sebuah kapal nelayan China. Para pelaut China berada di sekitar peti mati serta menjalankan prosesi pemakaman sederhana dengan menyalakan dupa dan menaburkan alkohol.

"Apakah ada orang lain yang melakukan lebih banyak (prosesi)? Tidak? Tidak?," kata pelaut China dalam video yang ditayangkan MBC.

Menurut penuturan peti mati itu berisi jenazah pelaut Indonesia bernama Ari berusia 24 tahun, Ari meninggal setelah bergabung di kapal tersebut selama satu tahun, Ari meninggal diatas kapal nelayan China tersebut.

Lalu, para pelaut itu mengangkat peti mati dan melemparkannya ke laut. Ari dimakamkan di laut dengan kedalamannya yang tidak diketahui.

Dalam berita tersebut disebutkan sebelum Ari, ada ABK bernama Alfata yang berusia 19 tahun dan Sepri yang berusia 24 tahun juga dilaporkan meninggal.

Beberapa pelaut China tersebut sebelumnya berjanji mengirim sisa-sisa jasad mereka pulang ke negaranya setelah mereka dikremasi. Para kolega tidak pernah membayangkan bahwa jasad Ari akan dibuang ke laut.

"Saya tahunya saya akan mengkremasi jasad di pantai," kata seorang ABK Indonesia di video itu yang diidentifikasi MBC dengan sebutan "Pelaut Indonesia A".

Rekan-rekan pelaut yang bekerja di kapal tersebut bersaksi bahwa kondisi di kapal itu buruk dan eksploitasi berlanjut, bahkan para pelaut Indonesia tersebut sebelum meninggal mengeluh tentang penyakit mereka selama sekitar satu bulan.

"Rekan-rekan yang terengah-engah merasakan mati rasa di kaki pada awalnya, dan kaki-kaki itu mulai membengkak. Tubuhnya bengkak dan sulit bernapas," kata ABK lain yang diidentifikasi MBC dengan sebutan "Pelaut Indonesia B".

Para pelaut China ini melakukan perbedaan perlakuan di atas kapal, mayoritas pelaut China minum air kemasan dari darat, tetapi para pelaut Indonesia mengaku minum air filtrasi dari air laut. Lantaran minum air itulah, mereka jatuh sakit.

"Awalnya, saya tidak bisa minum air laut yang disaring dengan baik. Saya pusing. Kemudian, dahak mulai keluar dari tenggorokan saya," kata Pelaut Indonesia B.

Selain itu, para ABK Indonesia ini juga melaporkan menjalani kerja selama 18 jam sehari. "Kadang-kadang saya harus berdiri dan bekerja selama 30 jam berturut-turut, dan saya tidak bisa duduk kecuali ketika nasi keluar setiap enam jam," ucap Pelaut Indonesia A.

Mereka mengaku tidak bisa lepas dari lingkungan Perbudakan. "Ada eksploitasi yang khas dan perangkat terikat pada laut. Paspor disita. Makanya itu biaya pengiriman yang sangat tinggi, termasuk uang jaminan. Karena inilah...," kata pengacara Kim Jong-cheol yang dikutip MBC dalam laporan tersebut.

Lima ABK dari Indonesia yang bekerja di kapal nelayan tersebut telah bekerja selama 13 bulan, tetapi hanya menerima 140.000 won.

Kapal nelayan China tersebut adalah kapal nelayan pemburu ikan tuna. Namun, dari waktu ke waktu, hiu juga ditangkap dan sirip hiu dipotong dan disimpan secara terpisah. "(Para pelaut) biasanya mengatakan mereka menangkap lebih dari 20 hiu sehari. Mereka mengatakan mereka melihat 16 kotak sirip hiu. Satu kotak adalah 45kg, kemudian ada sekitar 800kg ...," kata kelompok aktivis Federasi Gerakan Lingkungan.

Kelompok pro lingkungan Korea Selatan percaya meskipun terjadi kematian, kapal tersebut akan terus beroperasi tanpa kembali ke darat.

"Karena terlalu banyak sirip hiu di atas kapal, menakutkan (untuk ke pelabuhan) bahwa ia tidak seharusnya masuk (pelabuhan) karena ia menerima sanksi yang sangat besar ketika dicari (Otoritas Pelabuhan)," kata kelompok aktivis tersebut.

Para pelaut yang tak tertahankan dipindahkan ke kapal lain dan tiba di Pelabuhan Busan pada 14 April, tetapi harus menunggu 10 hari di lepas pantai Pelabuhan Busan. Namun, saat menunggu, seorang pelaut mengeluh sakit dada dan dilarikan ke rumah sakit di Busan, tetapi meninggal pada tanggal 27 bulan lalu.

Kematian empat orang di kapal yang diumumkan pada tanggal 27 April di pantai, membuat sebuah kelompok hak asasi manusia untuk menyelidiki dan menyerukan penyelidikan segera.

Korea Selatan dapat segera melakukan investigasi karena pada tahun 2015, negara tersebut meratifikasi protokol internasional untuk mencegah perdagangan manusia, termasuk kerja paksa dan eksploitasi seksual.

"Kami telah merevisi KUHP untuk meratifikasi protokol dan mengimplementasikannya. Dalam kasus perdagangan ini, kami harus menyelidiki hal ini di Korea karena yurisdiksi universal berlaku," ucap pengacara Kim Jong-cheol dari Pusat Banding Hukum Publik.

Namun, kapal nelayan China itu telah pergi ke laut lepas, dan media Korea Selatan diberitahu bahwa kapal itu tidak bisa diselidiki lagi oleh pihak Korea Selatan.

Laporan itu juga menambahkan ada kru-kru kapal yang dikarantina di Busan dan meminta pemerintah Korea Selatan melakukan penyelidikan menyeluruh. Para pekerja tersebut mengatakan bahwa mereka ingin memberi tahu dunia tentang pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami.

***

tags: #abk #perbudakan #wni

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI