Salah satu rumah di Kampung Jalawastu Kabupaten Brebes, Foto: Istimewa

Salah satu rumah di Kampung Jalawastu Kabupaten Brebes, Foto: Istimewa

Rumah di Kampung Jalawastu Brebes Tak Ada yang Berbahan Semen

Tak ada warga Kampung Jalawastu yang berani melanggar tradisi.

Minggu, 04 April 2021 | 17:18 WIB - Budaya
Penulis: Ririn . Editor: Fauzi

KUASAKATACOM, Brebes - Kampung Jalawastu Kabupaten Brebes Jawa Tengah adalah desa yang masih mempertahankan adat dan budaya lokal. Di kampung ini rumah-rumah warga dibangun tanpa semen dan keramik.

Kampung Jalawastu yang berada di wilayah Kecamatan Ketanggungan Brebes dan masuk dalam wilayah Desa Ciseureuh. Lokasinya berada sekitar 70 km ke arah barat daya dari pusat kota Brebes dan melintasi perbukitan.

BERITA TERKAIT:
Tradisi Larung Kepala Kerbau di Jepara, Ungkapan Syukur Masyarakat Nelayan 
Menhub Ingatkan Tradisi Balon Udara Saat Lebaran, Kapolda Jateng: Pelanggaran Bisa Dipidana kan
Mengintip Kemeriahan Tradisi Keramas Massal Sambut Ramadan di Sungai Cisadane
Sedekah Bumi di Jepara Didorong Jadi Ikon Pariwisata Desa 
Gebyuran Bustaman Digelar, Didorong Jadi Destinasi Wisata Tahunan 

"Hampir 145 kepala keluarga yang ada di kampung ini tidak ada satupun yang memiliki rumah modern. Semua bangunan rumah menggunakan bahan selain semen dan keramik," ungkap Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes Wijanarto, beberapa waktu lalu.

Ia menyebut warga Kampung Jalawastu menggunakan papan sebagai dinding. Tak hanya itu, bangunan kamar mandi juga menggunakan material papan kayu. "Mereka menggunakan papan sebagai dinding, seng untuk atapnya," ujarnya.

Warga kampung ini, kata dia, juga memegang teguh tradisi yang mereka anut dan tak ada warga Kampung Jalawastu yang berani melanggar tradisi tersebut. Tak hanya itu, warga Kampung Jalawastu ternyata juga memiliki sejumlah pantangan, di antaranya larangan mementaskan wayang, memelihara angsa, hingga menanam bawang merah.

"Ada beberapa pantangan lain yang tidak boleh dilanggar. Seperti memelihara angsa, bebek, domba, kerbau dan menanam bawang merah. Tidak ada yang berani melanggarnya. Mereka percaya akan mendapat musibah (bila melanggar)," tukasnya.

Tak hanya itu, ada tradisi yang terus dilestarikan warga Kampung Jalawastu. Setiap tahunnya mereka menggelar upacara adat yang dinamakan Ngasa.

Upacara adat ini, menurutnya digelar setiap selasa kliwon mangsa kesanga atau sembilan dalam kalender Jawa. Pada tahun ini upacara adat itu jatuh pada 30 Maret 2021 lalu. Upacara Ngasa in dipusatkan di dalam hutan yang dikeramatkan warga setempat, yakni di Pesarean Gedong. Salah satu yang menarik dalam upacara ini yakni perjamuan makan tanpa nasi, telur maupun lauk pauk daging atau ikan.

Perjamuan makanan yang ada yaitu berupa jagung yang ditumbuk menjadi seperti nasi dengan campuran lauk berupa umbi-umbian. Uniknya lagi, penyuguhan perjamuan makanan ini tanpa piring maupun gelas berbahan kaca.

Sementara itu, warga Kampung Jalawastu menggunakan piring enamel atau daun atau berbahan plastik. Sebab, semua bahan dari kaca dan keramik diharamkan di kampung ini. 

"Ditilik dari sejarahnya, upacara Ngasa berasal dari budaya nenek moyang mereka yang beragama Hindu. Ini bisa dilihat dari pakaian adat peserta upacara serta bacaan puji pujian yang diperuntukkan bagi dewa dewa. tradisi Ngasa berarti pula perwujudan syukur kepada batara windu buana yang merupakan pencipta alam," paparnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan kampung ini sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha yang menganut agama Sunda Wiwitan. Hal ini terlihat dari kemiripan dengan budaya dengan suku Baduy.

Seiring berjalannya waktu, warga Kampung Jalawastu banyak yang menganut Islam. Ajaran Islam ini dibawa oleh Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. "Islam masuk melalui Sunan Kalijaga dan Gunung Jati pada abad 15 sampai 16. Ini berdasarkan sejarah pitutur yang berkembang di masyarakat," terangnya.

Akulturasi Islam dengan budaya nenek moyang di Kampung Jalawastu terlihat dalam tradisi Perang Centong atau Perang dengan sendok nasi berbahan kayu. Perang ini menggambarkan dua jawara setempat yang menginginkan adanya perubahan adat istiadat dan pihak yang tetap ingin mempertahankan budaya setempat.

"Perang centong ini simbol perang antara Gandasari dan Gandawangi atau keyakinan lama dan baru. Dalam perang ini keyakinan baru menang, tapi tetap menjunjung keyakinan lama. Ini menggambarkan kondisi di kampung adat Jalawastu di mana ada akulturasi antara Islam dan Hindu dan Buddha," pungkasnya.
 

***

tags: #tradisi #kabupaten brebes #kampung jalawastu

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI