Ambang Batas Pilpres Menyimpang dari Prinsip Presidensialisme

Saiful Mujani memberika contoh pada pemilihan presiden yang baru saja selesai di Prancis, dimana jumlah calon presiden ada 12 pasangan.

Kamis, 12 Mei 2022 | 21:50 WIB - Politik
Penulis: Wisanggeni . Editor: Wis

KUASAKATACOM, Jakarta- Ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold yang berdasarkan pada hasil pemilihan Anggota DPR dinilai Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani menyimpang dari prinsip presidensialisme.

Hal itu disampaikan Saiful pada program Bedah Politik bersama Saiful Mujani episode "Calon Presiden Tanpa Ambang Batas?" yang tayang di kanal Youtube SMRC TV, Kamis (12/5/2022).

BERITA TERKAIT:
82 Anggota DPR Terlibat Judi Online, Didesak Sanksi Pecat
Anggota DPR Prancis Disanksi Berat Usai Kibarkan Bendera Palestina 
Soal Pengungsi Rohingya, Anggota DPR Minta Pemerintah Utamakan Rakyat 
Macet Parah di Jalur Pantura Demak, Anggota DPR Sebut Kerugian Bisa Sampai Miliaran 
Kunker Reses di Demak, Anggota DPR Ini Imbau Kepsek Tak Terapkan Dulu Kurikulum Merdeka 

Menurut Saiful sistem presidensial tidak berhubungan antara hasil pemilu legislatif dengan syarat pencalonan presiden. "Dalam sistem presidensial sebenarnya tidak ada hubungan antara hasil pemilu legislatif dengan syarat pencalonan presiden," ucapnya.

"Juga tidak ada ambang batas pencalonan presiden atas dasar hasil pemilu legislatif sehingga seharusnya ada lebih banyak figur yang bisa masuk dalam pemilihan presiden," sambungnya. 

Kemudian Saiful Mujani memberika contoh pada pemilihan presiden yang baru saja selesai di Prancis, dimana jumlah calon presiden ada 12 pasangan.

Prancis, imbuhnya tidak menganut sistem presidensial murni. Mereka menganut sistem semipresidensial, campuran antara parlementarisme dengan presidensialisme. Itu pun pencalonan presidennya cukup terbuka.

"Tidak ada threshold yang besar seperti di Indonesia. Walaupun yang dimuat oleh media hanya Macron dan Le Pen, sebenarnya ada 12 pasangan calon," ujarnya.

Saiful melanjutkan di Amerika Serikat, negara yang menjadi model sistem presidensialisme dunia, syarat untuk menjadi calon presiden cukup sederhana: yang penting dia kelahiran Amerika, tinggal tetap di Amerika minimal 14 tahun, berumur minimal 34 tahun, dan tidak melakukan tindakan kriminal.

Selain syarat itu, ujarnya tidak ada syarat lainnya. "Tidak ada syarat lain, misalnya, harus dari partai politik, apalagi partai politik dengan jumlah kursi tertentu di Kongres atau DPR seperti di Indonesia. Bisa begitu saja seseorang menyatakan diri sebagai calon presiden. Kalau dia menghabiskan dana lebih dari 5 ribu dollar dalam kampanye, maka ia diharuskan daftar ke KPU. Begitu sederhana," paparnya.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut menambahkan pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2020, yang diketahui olrh banyak hanya Donald Trump melawan Joe Biden, padahal calon yang maju ada 36 pasangan.

Hal itu menyatakan bahwa secara konstitusional, peluang untuk memperluas pencalonan presiden ada karena threshold 20 persen, 15 persen, 4 persen, atau 0 persen tidak tercantum di dalam konstitusi.

"Itu adalah aturan dalam undang-undang. Itu merupakan tafsiran politik DPR terhadap konstitusi. Dalam konstitusi, hanya ada pernyataan bahwa calon presiden diusulkan oleh partai politik. Partai politik pengusul harus sebesar apa, tidak ada ketentuannya di konstitusi," jelas Saiful.

Menurut Saiful, kata-kata "diusulkan oleh partai politik" diterjemahkan oleh partai-partai politik di DPR menjadi harus 20 persen, sebelumnya pernah lebih kecil, 15 persen pada pilpres 2004.

Akibat tingginya presidential threshold 20 persen maka peluang untuk mendapatkan calon-calon yang lebih fresh atau yang lebih diharapkan menjadi terbatas.
 

***

tags: #anggota dpr #presidential threshold #smrc

KOMENTAR

BACA JUGA

TERKINI